Dosen dan Peneliti Psikologi Kesehatan Universitas Airlangga (Unair) Triana Kesuma Dewi bersama peneliti dari Indonesia lain menyampaikan jika alat tes tersebut berbeda dengan yang sudah ada. Tes online yang banyak tersebar tidak mengeksplorasi alasan mengapa masyarakat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, misalnya tidak menjaga jarak fisik (physical distancing) dari orang lain.
"Kami membuat alat ini berdasarkan Reasoned Action Approach (Fishbein & AJzen, 2010). Jadi tidak hanya melihat perilaku apa yang muncul dan tidak mucul sehingga meningkatkan risiko penularan, tetapi juga melihat faktor apa yang mempengaruhi perilaku tersebut. Sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi intervensi apa yang relevan untuk meningkatkan perilaku protektif yang diharapkan," jelasnya dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Senin (8/6/2020).
Pengguna tes akan memperoleh perkiraan risiko sejauh mana dirinya tertular atau menularkan. Perkiraan tersebut diukur dari tiga faktor risiko berdasarkan kajian ilmiah, yaitu menjaga kebersihan tangan, menjaga jarak aman di tempat umum dan perilaku tetap di rumah atau menghindari keramaian.
"Kami ingin melihat perilaku-perilaku tertentu yang menjadi fokus kita, untuk menghitung risiko apakah mereka memiliki resiko tambahan yang tinggi untuk menularkan virus Corona ini. Risiko tambahan di sini ialah hal-hal yang dapat kita kendalikan dan ubah, bukan penyakit kronis atau bawaan yang diderita," kata dia.
Triana mengatakan alat tes online awalnya digagas oleh Gjalt-Jorn Peters dari Open University dan Sylvia Roozen dari Maastricht University, Belanda. Kemudian, hasil tes akan dipublikasikan pada repositori open access, sehingga dapat diakses oleh siapa pun.
Alat yang digarap sejak Maret itu telah diterjemahkan ke dalam 27 bahasa dan diluncurkan di berbagai negara di dunia. Di Indonesia, masyarakat dapat menjajal tes daring itu mulai Sabtu (6/6).
"Kita tahu bahwa mengubah perilaku itu bukanlah hal yang mudah. Semoga alat tes ini dapat memberikan rekomendasi dalam memahami perilaku protektif terkait COVID-19, faktor penyebab munculnya perilaku tersebut, dan kira-kira pendekatan apa yang relevan untuk mengubah perilaku tersebut. Dengan demikian, kami harap ini dapat memberikan rekomendasi bagi pemerintah maupun organisasi kesehatan untuk membuat kebijakan dan informasi publik yang relevan," harapnya. (iwd/iwd)