"Menyatakan terdakwa Tatang Istiawan terbukti melakukan perbuatan hukum tetapi bukan perbuatan tindak korupsi," kata hakim ketua I wayan Sosiawan saat membacakan tuntutan di Ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin (16/3/2020).
"Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum," tambah hakim.
Atas putusan itu, majelis hakim kemudian memerintahkan segera terdakwa yang juga sekaligus bos media Kota Surabaya itu segera dibebaskan dari tahanan. Tak hanya itu, terdakwa nama baik, hak dan harkat martabatnya segera dipulihkan.
"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan nama serta hak dan harkat martabatnya," ujar hakim.
Putusan bebas terdakwa tersebut mengagetkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebab, sebelumnya terdakwa dituntut 10 tahun penjara.
Sementara itu, usai persidangan, terdakwa Tatang Istiawan langsung melakukan sujud syukur atas putusan tersebut. Ia mengaku puas dengan putusan hakim karena telah memenuhi aspirasi para pencari keadilan.
Tatang juga membantah bahwa ia telah mempengaruhi mantan Bupati Trenggalek dalam kasus korupsi tersebut. Sebab, dirinya hanyalah pihak swasta.
"Ini putusan yang adil yang memenuhi aspirasi para pencari keadilan, siapapun," ujar Tatang.
"Saya ini murni swasta. Mana mungkin saya bisa mempengaruhi. Kan semua diatur di perjanjian. Dan itu diatur dalam perselisihan. Jadi perbuatannya terbukti tapi bukan merupakan perkara pidana," imbuhnya.
"Eksepsi saya ini kan sama dengan pembelaan saya. Saya ini business to business. Saya ini orang swasta. Saya ini wartawan yang ngerti hukum. Jadi kalau saya business to busines terus dipelesetkan ke sana kan saya protes," tandasnya.
Tatang Istiawan sendiri ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek dalam dugaan korupsi penyelewengan penyertaan modal percetakan PT Bangkit Grafika Sejahtera (BGS) milik Pemkab Trenggalek.
Dalam perkara ini Tatang bertindak sebagai pimpinan PT Surabaya Sore sekaligus Direktur Utama percetakan PT Bangkit Grafika Sejahtera (bentukan PT Surabaya Sore dengan PDAU Pemkab Trenggalek). Ia diduga telah melakukan tindak penyelewenangan, karena dari total kesepakatan penyertaan modal dasar Rp 8,9 miliar yang bersangkutan tidak melakukan penyetoran modal yang diwajibkan senilai Rp 1,7 miliar atau 20 persen saham.
Dalam perjalanannya, uang modal yang didapat dari PDAU sebesar Rp 7,1 miliar, Rp 5,9 miliar diantaranya ditransfer ke rekening T untuk membeli mesin percetakan. Namun kenyataannya mesin yang dibeli justru merupakan barang rekondisi yang akhirnya rusak.
Tonton juga Bareskrim Panggil 5 Orang Terkait Dugaan Korupsi Proyek Rumah DP Rp 0 :
(fat/iwd)