"Hasil lab sudah turun. Sejak awal saya memang yakin, bahwa yang terjadi ini bukan disebabkan virus atau wabah penyakit menular. Termasuk yang paling kita takuti yakni antraks. Tapi disebabkan karena tympani," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Situbondo, drh Hasanuddin Riwansia kepada detikcom, Jumat (7/2/2020).
Pria yang akrab disapa drh Udin itu memaparkan, hasil pemeriksaan Laboratorium Keswan B Malang merinci hasil pemeriksaan sampel. Di antaranya, hasil pengujian laboratorium kematian sapi terkait Rose Bengal Test (RBT) 8 sampel 100% dinyatakan negatif. Pengujian Anthrax dari 8 sampel 100% dinyatakan negatif. Demikian juga dengan pengujian toksin, plumbon dan sianida hasilnya negatif.
Endoparasit dari 8 sampel yang diuji laboratorium, satu sampel positif terinfeksi cacing hati (faciola hepatica). Sementara 7 sampel lainnya dinyatakan negatif. Sementara untuk parasit darah dari 8 sampel, seluruhnya dinyatakan negatif.
"Dari pengujian yang dilaksanakan Laboratorium Keswan B Malang, tidak mengarah pada penyakit hewan menular strategis (PHMS)," tegasnya.
Karena itu, untuk menghindari tympani atau perut kembung drh Udin menyarankan, agar para peternak lebih memperhatikan cara menyajikan porsi pakan terhadap ternaknya. Menurut dia, rumput muda dan rumput dalam kondisi basah sangat berbahaya bagi hewan ternak, karena berpotensi mengganggu sistem pencernaan ternak.
"Penyediaan pakan harus diseimbangkan. Jeramian itu bagus untuk penyeimbang pakan. Kalau rumput muda harus diangin-anginkan terlebih dulu untuk mengurangi kandungan atau kadar air," sarannya.
Sebelumnya, sebanyak 9 ekor ternak sapi milik warga di Situbondo mati secara tak lazim. Ternak yang semula sehat tiba-tiba tubuhnya gemetar, lalu ambruk dan mati. Dalam 5 hari ini, sudah ada 9 ekor ternak sapi milik warga Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, yang mati mendadak dengan gejala tersebut. (fat/fat)