Akibatnya, harga telur anjlok di tingkat peternak dikisaran Rp 13.500/kg. Sedangkan harga dipasaran masih dikisaran Rp 18.000/kg. Disparitas harga ini disinyalir terjadi karena adanya permainan harga dan stok telur oleh kalangan integrated.
Empat pakan produk pabrikan besar yang diboikot itu diantaranya Pokphand, Java Comfeed, Malindo dan Wonokoyo. Mereka merupakan integrated yang memonopoli pembibitan, produksi pakan dan pembesaran Broiler.
Peternak di Dusun Tumpak Puri Desa Sumberejo Kecamatan Kademangan Kabuaten Blitar, Suwandi, mengatakan telur tunas yang beredar disinyalir membuat over stok telur dipasaran.
"Dari pertemuan di Yogya tanggal 27 Februari kemarin, mereka mengakui memang menggelontor telur tunas karena bisnis pembibitan Broiler sangat lesu," ungkap Suwandi saat ditemui detikcom di kandangnya, Rabu (8/3/2017).
Untuk menyiasati pakan ayamnya, peternak menggantinya dengan pakan campuran. "Komposisinya sekarang konsentrat 36%, Bekatul 15% dan jagung giling 50% ," jelas Suwandi.
Namun Suwandi mengakui, jika perubahan pakan ini sedikit banyak berpengaruh pada kualitas dan kuantitas telur.
Pantauan detikcom, untuk peternak rakyat yang mempunyai maksimal 10 ribu ayam, biasanya mampu memprodukai 5 kuintal telur per hari.
Namun sejak berganti pakan campuran, kapasitas produksi telur menurun hingga 10%.
Kondisi ini bertahan sejak masa sulit mulai pertengahan Desember tahun lalu. Saat ini, dengan harga telur dikisaran Rp 13.500 per kg, peternah harus menanggung kerugian hingga mencapai 1,5 juta per hari.
Hari ini Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) diundang Kementan di Jakarta untuk forum grup diskusi membahas revisi Permentan No 61 tahun 2016.
"Kita dilibatkan pembagian DOC (Day Old Chick : bibit ayam petelor) untuk layer yg keluar dari breding farm integreted. Kami minta doc 2% untuk internal integreted tes farm, dan 98% untuk peternak rakyat atau UMKM koperasi, " ungkap Ketua PPRN, Rofi Yasifun saat dihubungi. (bdh/bdh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini