Kisah 2 Korban Tragedi Berdarah PKI di Klaten Dapat Penghargaan Pahlawan

Kisah 2 Korban Tragedi Berdarah PKI di Klaten Dapat Penghargaan Pahlawan

Achmad Syauqi - detikNews
Jumat, 01 Okt 2021 10:46 WIB
Supriyadi, menunjukkan piagam pahlawan milik kakeknya, Klaten, Jumat (1/10/2021).
Supriyadi, menunjukkan piagam pahlawan milik kakeknya, Klaten, Jumat (1/10/2021). (Foto: Achmad Syauqi/detikcom)
Klaten -

Meskipun bukan militer, apalagi jenderal, dua orang warga Klaten, Jawa Tengah mendapatkan piagam penghargaan sebagai pahlawan setelah menjadi korban tragedi berdarah 1965. Dua orang itu Mangku Wiryono warga Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan dan anak menantunya Kardoyo, warga Desa Kebondalem Lor, Kecamatan Prambanan.

"Yang menerima penghargaan itu dulu almarhum kakak saya karena saya baru umur 8 tahun. Baik kakek maupun ayah saya dua-duanya dapat," ungkap Supriyadi, anak Kardoyo kepada detikcom, Jumat (1/10/2021).

Supriyadi yang juga Kades Somopuro itu mengatakan piagam dari pemerintah untuk ayahnya disimpan adiknya. Sedang piagam untuk Mangku Wiryono dipajang di rumah kakeknya itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikcom melihat piagam penghargaan yang sudah lusuh itu tertera kalimat, "Surat Penghargaan untuk Pahlawan". Surat tersebut berkop Siaga dan Kodam VII/ Diponegoro Brigade Infantri Pelaksana Kuasa Perang, ditandatangani Pelaksana Kuasa Perang, Kolonel Infanteri Yasir Hadibroto.

Teksnya berbunyi, "Dengan rasa bangga dan haru, kami atas nama warga dan ABRI yang bertugas di daerah hukum Pekuper Eks Karesidenan Surakarta dan atas nama pemerintah republik Indonesia menyampaikan penghargaan dan hormat yang setinggi-tingginya atas pengorbanan saudara di dalam penghancuran dan pemulihan keamanan atas gerakan 30 September/ Gestok PKI atau pengorbanan saudara di dalam menanggulangi bencana alam yang menimpa Eks Karesidenan Surakarta...,"

ADVERTISEMENT

"Yang untuk bapak (Kardoyo) dibawa adik saya. Yang untuk kakek disimpan di rumah kakek," sambung Supriyadi.

Kakeknya, Mangku Wiryono menurut Supriyadi adalah pegawai di Dinas Pertanian Klaten. Tragedi itu masih diingatnya karena dirinya juga saksi mata.

"Saya masih ingat benar kejadiannya tanggal 23 Oktober 1965, harinya Sabtu Pon. Di Jakarta kan 30 September tapi di daerah Yogyakarta dan Solo baru kejadian bulan Oktober 1965," tutur Supriyadi.

Supriyadi menceritakan saat kejadian sekitar pukul 02.00 WIB kakeknya baru pulang dari rumah temannya. Saat hendak tidur, mendadak pintu barat rumah digedor.

"Baru setengah jam pulang, pintu rumah sebelah barat digedor dan ada sekitar tujuh orang masuk. Kakek lari ke dalam dan saya bersama kakak saya tidur di sebelah jadi tahu," sambung Supriyadi.

Saat kejadian, terang Supriyadi, dirinya masih kelas 2 SD dan sedang liburan di rumah kakeknya. Setelah membuka paksa pintu para pelaku yang tidak memakai penutup wajah masuk.

"Karena saya sehari-hari hidup di Kecamatan Prambanan jadi saya tidak kenal pelakunya. Padahal tidak memakai tutup wajah," kata Supriyadi.

Setelah masuk rumah, imbuh Supriyadi, kakek dan neneknya dianiaya di depan keluarga dengan senjata tajam dan palu. Saat melakukan aksinya para pelaku tidak banyak kata.

"Mereka langsung menganiaya saja, tidak berkata-kata, ada yang pakai paku. Mungkin karena kakek saya aktivis PNI," lanjut Supriyadi.

Menurut Supriyadi, setelah menganiaya kakek dan neneknya, para pelaku simpatisan PKI pergi. Dia menangis keras dan kakaknya keluar rumah minta tolong pada tetangga untuk membawa sang kakek ke RS.

"Kakek saya dibawa ke RS Tegalyoso (RSUP Dr Soeradji) dengan ditandu jalan kaki sebab jalan raya diblokir dengan pohon yang ditebangi. Sampai di RS kakek langsung meninggal," ucap Supriyadi.

Lihat juga video 'Saksi Mata Pembantaian Korban PKI di Geyer Grobogan':

[Gambas:Video 20detik]






lihat kisahnya halaman selanjutnya...

Bersamaan dengan kejadian yang menimpa kakeknya itu, sambung Supriyadi, penganiayaan menimpa ayahnya, Kardoyo. Ayahnya dibunuh di Desa Kebondalem Lor, Kecamatan Prambanan.

"Yang satu bapak saya tapi kejadiannya di Desa Kebondalem Lor. Simpatisan PKI ramai-ramai datang ke rumah, begitu keluar bapak diikat langsung dibawa ke makam desa, dianiaya dan dikubur hidup-hidup," sebut Supriyadi.

Jenazah ayahnya, terang Supriyadi baru ditemukan dua hari kemudian atau hari Senin 25 Oktober 1965. Makamnya digali warga dan ditemukan masih dengan baju dan celana.

"Digali, pakaiannya masih melekat dengan darah-darah. Bapak juga aktivis PNI tapi ditemukan selang dua hari setelah kejadian," ujar Supriyadi.

Supriyadi mengatakan saat itu di Jogonalan dan Prambanan banyak pro PKI dan PNI. Keduanya saling curiga sejak meletus 30 September.

"Pelakunya ya para pengurus dan simpatisan PKI sebab memang jumlahnya banyak dan kayaknya saling musuhan dengan PNI ," imbuh Supriyadi.

Kades Kebondalem Lor Kecamatan Prambanan, Murtiyanto membenarkan jika Kardoyo meninggal saat tragedi 1965. Almarhum dibawa massa dari rumah.

"Kejadiannya Oktober 1965, saya masih umur tiga tahun. Pak Kardoyo itu anak kades pertama dan aktivis PNI," kata Murtiyanto kepada detikcom.

Saat kejadian, ungkap Murtiyanto, puluhan orang datang ke rumah kades mencari Kardoyo yang bekerja sebagai penyuluh pertanian. Setelah ditemukan dianiaya ramai-ramai di depan ayahnya.

Selanjutnya: "Jadi dibunuh di depan ayahnya...."

"Jadi dibunuh di depan ayahnya, ayahnya tidak bisa melawan karena massa banyak. Selanjutnya dibawa pergi," papar Murtiyanto.

Meskipun anaknya dibunuh, sambung Murtiyanto, kades pertama desanya itu tidak dendam kepada para pelaku. Buktinya setelah PKI kalah dan ditumpas, tidak ada warga yang dieksekusi.

"Kalau Mbah lurah mau, tinggal menunjuk orang-orang yang terlibat kejadian itu, puluhan mungkin ratusan bisa habis semua. Nyatanya tidak dilakukan," sebut Murtiyanto.

Pemerintah desa, imbuh Murtiyanto, berencana mengenang Kardoyo dengan membuat monumen. Namun hal itu baru akan direncanakan.

"Baru kita rencanakan malah ada COVID. Mungkin nanti dibicarakan dengan camat dulu, " pungkas Murtiyanto.

Halaman 2 dari 3
(sip/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads