Jembatan Bantar Lokasi Lumpuhnya Penjajah, Bajanya Didatangkan dari Belanda

Jembatan Bantar Lokasi Lumpuhnya Penjajah, Bajanya Didatangkan dari Belanda

Jalu Rahman Dewantara - detikNews
Sabtu, 25 Sep 2021 10:20 WIB
Jembatan Bantar, lokasi pertempuran tentara Indonesia melawan Belanda pada medio 1948-1949, Jumat (25/9/2021).
Jembatan Bantar, lokasi pertempuran tentara Indonesia melawan Belanda pada medio 1948-1949, Jumat (25/9/2021). (Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikcom)
Kulon Progo -

Jembatan Bantar yang menjadi penghubung antara Kabupaten Kulon Progo dengan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyimpan sejarah panjang perjuangan pasukan TNI dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jembatan tersebut kini ditetapkan sebagai cagar budaya sekaligus destinasi wisata sejarah. Bagaimana kisahnya?

Jembatan Bantar membentang di atas Kali Progo dan menghubungkan dua kapanewon yaitu Sentolo di Kulon Progo dan Sedayu di Bantul. Jembatan sepanjang 180 meter, lebar 5 meter, dan tinggi 25 meter ini mulai dibangun pada masa kolonial Belanda, tepatnya tahun 1917.

Sebelum adanya jembatan ini, wilayah Kulon Progo dengan Bantul hanya dihubungkan Jembatan Kereta Api. Masyarakat pun harus menggunakan rakit untuk menyeberangi Sungai Progo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada tahun 1916, Ir Verhoog dan Ir Jurgensen West dari Burgerlijek Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum-Yogyakarta), merancang sebuah jembatan gantung dengan teknologi paling modern pada zamannya. Bentuk desain jembatan adalah jembatan gantung karena Sungai Progo yang lebar dan sering banjir, sehingga tiang pancang jembatan cukup dua pilar saja agar tidak bisa diterjang banjir," kata Ketua Dewan Kurator Museum Soesilo Soedarman Cilacap, Indroyono Soesilo, dalam peresmian monumen dan museum mini Sejarah Jembatan Bantar di Sentolo, Kulon Progo, Jumat (24/9/2021).

Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI 2014-2015 ini mengatakan pembangunan Jembatan Bantar yang dimulai pada 1917, sempat terhenti karena harga baja saat itu meroket pasca Perang Dunia I. Pembangunan akhirnya dilanjutkan pada 1928 dan selesai 1929. Adapun baja-baja untuk jembatan dibuat di Pabrik Werkspoor, Utrech, Belanda.

ADVERTISEMENT

Baja-baja tadi kata Indroyono diangkut dari Belanda dengan kapal laut dan tiba di Pelabuhan Cilacap pada April 1928. Kemudian diangkut dengan kereta api hingga tiba di Stasiun Sentolo dan Sedayu.

"Pada 17 Juni 1929 Jembatan Bantar diresmikan oleh Gubernur Yogyakarta yaitu J.E. Jasper dan diberi nama Gouverneur Jasperbrug. Biaya total Pembangunan jembatan, sebesar 455.000 Gulden, dibagi rata antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat," ujarnya.

Pada 28 Juni 2021, Jembatan Bantar ditetapkan sebagai Struktur Bangunan Cagar Budaya, melalui Keputusan Gubernur DIY, No.171/KBP/2021. Jembatan ini juga jadi destinasi wisata sejarah yang terbuka bagi seluruh masyarakat.

Saksi Bisu Perang Gerilya Pasca Kemerdekaan

Jembatan Bantar menyimpan sejarah tentang pertempuran antara pasukan TNI dengan para penjajah Belanda. Peristiwa itu terjadi 3 tahun setelah Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan disebut Agresi militer Belanda II.

Dijelaskan Indroyono tepat pada 19 Desember 1948, Ibu Kota Perjuangan Yogyakarta diserbu Pasukan Belanda dari Brigade T atau Tijger Brigade yang dipimpin Kolonel Van Langen. Pimpinan Nasional, Soekarno-Hatta kala itu ditawan dan diasingkan. Sementara Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dipimpin Mr Sjafrudin Prawiranegara.

Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan seluruh satuan TNI untuk menyingkir dari Kota Yogyakarta...

Melalui Perintah Siasat No.1/th.1948, lanjutnya, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan seluruh satuan TNI untuk menyingkir dari Kota Yogyakarta menuju luar kota untuk memulai Perang bertajuk Gerilya Semesta.

"Di Wilayah Yogyakarta dibentuk Wehrkreise III (Daerah Perlawanan III), dipimpin Letkol Soeharto dan Yogyakarta dibagi menjadi 6 Sub-Wehkreise (SWK). Wilayah Kulon Progo masuk dalam Sub-Wehrkreise 106/WK-III (SWK-106/WK-III), dipimpin Letkol Soedarto dengan kekuatan satuan-satuan Brigade 17/Tentara Pelajar dan Satuan Hisbullah," ujarnya.

"Nah Jembatan Bantar merupakan lokasi strategis yang selalu diperebutkan antara gerilyawan TNI dengan tentara Belanda karena jembatan ini menghubungkan Yogyakarta ke wilayah Barat hingga Purworejo dan Kebumen," sambung Indroyono.

Ia menjelaskan pertempuran hebat antara Gerilyawan TNI dengan tentara Belanda di Jembatan Bantar berlangsung beberapa kali. Pertama terjadi pada 23 dan 24 Februari 1949.

Kala itu Letkol Soeharto memimpin unsur SWK 103A/WK-III dibantu bala bantuan dari Kompi Sudarsono Bismo, menyerang kedudukan Belanda di jembatan Bantar. Adapun Kompi Sudarsono Bismo datang dari arah Purworejo dengan kekuatan 200 prajurit dan memiliki senjata senapan mesin berat.

"Serangan besar terhadap Bantar dilakukan pada tanggal 24 Februari 1949. Saat itu, Sungai Progo sedang banjir. Pasukan Letkol Soeharto menyusup pada malam hari, sementara itu Kompi Sudarsono Bismo menyerang Bantar dari arah Timur sungai.
Dalam serangan ini, ikut juga Batalyon 151 yang dipimpin oleh Harjo Soedirdjo," ucapnya.

Batalyon 151 ini lanjutnya menyerang dari arah utara jalan raya. Turut membantu serangan ini adalah satuan SWK 106/WK-III, dipimpin Letkol Soedarto, yang mengerahkan unsur-unsurnya untuk mendukung serangan, terutama dari arah barat daya jalan raya, sehingga kedudukan Belanda di Bantar-Klangon praktis terkepung.

Peristiwa kedua terjadi pada momen serangan umum 1 Maret 1949 di mana Satuan SWK 106/WK-III, dipimpin Letkol Soedarto melakukan operasi di wilayah Kulon Progo. Pada saat itu, sejak pukul 06.00, pasukan Letkol Soedarto bersama dengan SWK-SWK lainnya menyerang kedudukan Belanda di Yogyakarta dan SWK 106/WK-III mulai melaksanakan tugasnya mengikat Belanda dalam kedudukannya.

"Kedudukan Belanda yang paling kuat ialah di jembatan Bantar, terletak di perbatasan SWK 103, 103A, dan 106. Di jembatan Bantar, Pasukan Belanda berkekuatan 1 kompi, serta dijaga tank Brencarrier. Untuk mengikat Belanda di Jembatan Bantar, Letkol Soedarto mengarahkan Seksi Staf Pengawal untuk menekan dari arah barat dan Pasukan Hisbullah pimpinan Noer Moenir menekan dari arah timur," kata Indroyono.

Strategi ini berhasil. Pasukan Belanda di Bantar tidak dapat bergerak untuk membantu Pasukan Belanda yang terkepung di Yogyakarta. Kemudian
pada 8 Maret 1949, Letkol Soeharto memimpin 2 kompi gerilyawan TNI, meninggalkan markasnya di Segoroyoso menuju Bantar.

Adapun serangan terhadap kedudukan Belanda di Bantar berikutnya dilakukan pada 11 Maret 1949. Di sana pos-pos Belanda diserang dari dua arah. Kompi Kapten Widodo menyerang dari sebelah Utara jalan raya dan Kompi Soedarsono Bismo menyerang dari sebelah Selatan jalan raya. Sedang Pasukan SWK 106/WK-III menyerang Belanda dari sebelah Barat.

"Diperkirakan, kekuatan pasukan Belanda yang menguasai jembatan Bantar saat itu adalah sebesar satu Kompi Plus," ujarnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...

Penyerangan ini berlangsung selama lima hari. Pada hari pertama, dilakukan serangan malam terhadap kedudukan Belanda di Bantar. Kompi Kapten Widodo berhasil merebut dan menduduki salah satu pos Belanda dan merampas sejumlah senjata jenis Watermantel dan Senapan Mesin Sedang (SMS) Vickers.

Esok harinya sekitar pukul 07.00 pagi, pesawat P-51 Mustang AU Belanda memberondong kedudukan Kompi Kapten Widodo di sekitar Jembatan Bantar.
Dalam pertempuran Bantar ini, Kompi Kapten Widodo menderita kerugian 4 prajurit gugur dan 23 luka-luka. Keempat prajurit yang gugur dimakamkan oleh penduduk di sekitar Gamping.

Sedangkan Belanda kehilangan 10 orang prajuritnya, dua unit truk hancur dan sejumlah senjata dirampas TNI.

"Usai pertempuran ini Kompi Kapten Widodo dan Kompi Soedarsono Bismo meninggalkan Bantar pada tanggal 17 Maret 1949 menuju Godean," jelas Indroyono.

Untuk mengenang Peristiwa Heroik Gerilyawan TNI bertempur dengan Tentara Belanda di Bantar, maka pada 1 Maret 1995, Jembatan Bantar diresmikan sebagai Monumen Perjuangan oleh Menko Polkam RI pada waktu itu, Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman, selaku Ketua Umum Pagubuyan Wehrekreise III.

Paguyuban Wehrkreise III sendiri adalah tempat berhimpun para mantan pejuang dan mantan gerilyawan yang pernah bertempur di Daerah Perlawanan III, Yogyakarta, pada kurun 1948-1949.

Halaman 2 dari 3
(sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads