Klaten -
Gunung Pegat di perbatasan Desa Jotangan dan Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, diam-diam menyimpan bangunan kuno. Di bawah gunung itu terdapat saluran air bawah tanah dan lima luweng (sumur di gunung).
Gunung Pegat sekilas lebih menyerupai bukit sebab ketinggiannya hanya sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Gunung itu berada di deretan kompleks Gunung Jabalakat dan letaknya persis di selatan Rawa Jombor.
Punggung gunung sepanjang tahun dipenuhi tanaman keras berupa pohon jati dan mahoni. Di lerengnya ada permukiman warga tiga desa, yakni Desa Krakitan, Jotangan dan Krikilan, Kecamatan Bayat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Udaranya sejuk dan cenderung lembap sebab sinar matahari tidak sepenuhnya mampu menembus rapatnya pepohonan. Tapi di balik diamnya, Gunung Pegat menyimpan saluran air dengan lima luweng yang dibangun sebelum kemerdekaan RI.
Dari lima luweng, ada tiga yang bentuknya bulat dengan bangunan tembok berundak susun. Sisanya berbentuk kotak dengan saluran irigasi di dasarnya.
Dari semua luweng, luweng di Desa Jotangan yang paling besar dan dalam. Mulut luweng yang berada di tengah hutan jati memiliki diameter sekitar 15 meter dan kedalaman sekitar 50 meter.
"Sumurnya itu ada lima. Menurut cerita itu dulu dibuat zaman penjajahan Belanda untuk saluran air," ungkap salah satu warga Desa Jotangan, Haryanto (31), kepada detikcom, Sabtu (1/5/2021).
Salah satu luweng di Gunung Pegat, Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klaten, Sabtu (1/5/2021). Foto: Achmad Syauqi/detikcom |
Hariyanto menceritakan sumur itu ukurannya beda-beda. Ada yang besar, sedang dan yang kecil kotak bentuknya.
"Yang besar cuma satu, dekat kandang ayam ada juga tapi lebih Kecil. Yang lainnya ke bawah bentuknya tidak bulat tapi kotak," sambung Hariyanto.
Hariyanto mengaku sejak dirinya lahir bangunan luweng hanya dipagari tembok setinggi satu meter.
"Dulu sering dibersihkan. Turunnya pakai tangga tetapi tangganya sekarang hilang digergaji anak-anak," paparnya.
Sementara itu warga Desa Krakitan, Kasiman (68), mengatakan luweng itu bagian dari jaringan saluran air. Air dari rawa dialirkan lewat saluran di bawah gunung.
"Air dari rawa dialirkan ke Kecamatan Cawas sampai Pedan untuk pertanian dan pabrik gula. Luweng itu mungkin pintu untuk kontrol jika ada kerusakan," kata Kasiman.
Karena luweng itu dalam, lanjut Kasiman, tidak ada orang berani turun atau bermain di sekitar lokasi. Dia pun tidak mengetahui persis luweng itu dibuat tahun berapa.
"Tahun berapa dibuat saya tidak tahu. Mungkin zaman orang tua saya masih kecil," ungkap Kasiman.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
Terpisah, warga Dusun Brumbung, Desa Krakitan, Surip (56), menuturkan berdasarkan cerita orang tuanya, luweng dan saluran dibuat sebelum tahun 1945. Alat bornya dulu diletakkan di belakang rumahnya.
"Cerita bapak saya dulu bor dan dinamitnya di belakang rumah itu. Caranya diledakkan dan bor bergerak mengeruk tanah," terang Surip.
Menurut Surip, luweng itu merupakan pintu kontrol aliran air dari saluran Rawa Jombor. Hulunya ada di bendungan selatan rawa.
"Air dari rawa masuk saluran, lalu lewat bawah gunung. Mulut saluran itu kelihatannya kecil padahal di dalamnya seperti ruangan," jelas Surip.
Dinding saluran air terbuat dari tembok dengan panjang sekitar 500 meter. Setelah itu sisanya berdinding murni batu kapur gunung.
"Yang tembok cuma sekitar 500 meter. Lainnya yang ke timur atap dan dindingnya batu gunung asli tapi kuat, saya tahu karena saat kecil pernah masuk," ungkap Surip.
Sekretaris Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Galang Setiaji, membenarkan ada luweng zaman Belanda itu. Luweng itu di bawahnya saluran air.
"Di bawah sumur itu ada saluran irigasi fungsinya untuk irigasi pertanian. Jadi bukan untuk air minum," ungkap Galang kepada detikcom.
Salah satu luweng di Gunung Pegat, Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klaten, Sabtu (1/5/2021). Foto: Achmad Syauqi/detikcom |
Terpisah, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Pemkab Klaten, Yuli Budi Susilowati, mengatakan luweng itu adalah saluran air peninggalan kolonial Belanda yang melewati terowongan di bawah gunung. Panjangnya sekitar 1-1,5 kilometer.
"Panjang diperkirakan 1 atau 1,5 kilometer dengan lima celah udara yang mirip sumur. Salah satunya sangat besar dengan diameter diperkirakan 10 meter," terang Yuli.
Yuli menjelaskan luweng itu merupakan outlet tempat keluarnya udara saluran. Saluran mengalirkan air dari rawa ke Kecamatan Cawas dan Pedan.
"Saluran air berfungsi mengalirkan air dari rawa untuk pengairan daerah sekitar Cawas dan Pedan. Luweng berfungsi sebagai bak kontrol dan celah udara aliran air karena saluran dibuat di bawah tanah bukit gunung Pegat," sambung Yuli.
Proyek mengalirkan air dari rawa itu, imbuh Yuli, dikerjakan sebelum kemerdekaan. Diperkirakan selesai tahun 1924.
"Proyek itu dimulai sekitar tahun 1911 dan diperkirakan selesai 1924. Jumlahnya ada lima sumur," pungkas Yuli.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini