Singgung Akil Mochtar, Eks Ketua KPK Tak Setuju Edhy-Juliari Dihukum Mati

Singgung Akil Mochtar, Eks Ketua KPK Tak Setuju Edhy-Juliari Dihukum Mati

Jauh Hari Wawan S - detikNews
Kamis, 18 Feb 2021 15:25 WIB
Busyro Muqoddas
Busyro Muqoddas di UMS (dok. detikcom)
Sleman -

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara layak dituntut dengan hukuman mati. Namun, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas tidak setuju dan memilih hukuman penjara seumur hidup untuk kedua menteri tersebut. Apa alasannya?

"Untuk dua (mantan) menteri itu saya cenderung hukuman (penjara) seumur hidup seperti Akil Mochtar dulu," kata Busyro saat dihubungi wartawan, Kamis (18/2/2021).

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM ini pun mengungkapkan alasannya. Dia lalu bicara soal para pembantu presiden yang terjerat korupsi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertama, berdasarkan landasan konsep filosofis dari statement pemerintah tentang isu korupsi terkait dua pejabat yang semuanya pembantu presiden. Di periode pertama (Presiden Joko Widodo), menjerat mantan Menpora (Imam Nahrawi) dan mantan Mensos (Idrus Marham)," terangnya.

Busyro lalu mencontohkan soal korupsi mantan Menpora Imam Nahrawi dan mantan Mensos Idrus Marham di era pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemudian di periode kedua, dua menteri lainnya juga terjerat korupsi yakni Juliari dan Edhy Prabowo.

ADVERTISEMENT

"Nah itu menjadi catatan yaitu itu merupakan jenis contoh korupsi politik atau state capture corruption yang dilakukan justru oleh parpol pusat yang sedang diamanati sebagai menteri di kabinet. Jadi di episentrum kekuasan pemerintah dan parpol karena itu ditunjuk oleh parpol," jelasnya.

Busyro pun menyarankan untuk saat ini yang harus dilakukan yakni mencari akar masalahnya ketimbang memberikan tuntutan hukuman mati. Dia lalu bicara soal pengalamannya di KPK selama empat tahun.

"Menurut hemat saya berdasarkan data di KPK dulu empat tahun kami di sana dan mempelajari periode Pak Antasari juga itu kan korupsi politik itu sudah ada contoh-contohnya. Lalu kami lakukan kajian saat itu akar masalah adalah aspek hulu yaitu demokrasi transaksional yang itu sumbernya Undang-Undang parpol, Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada," paparnya.

Menurutnya, ketiga undang-undang itu menjadi faktor penyebab terjadinya kekuasaan yang korup. Busyro menyebut proses Pilkada yang transaksional menjadi sarana mewujudkan birokrasi yang korup.

"Pemilu, pilkada yang transaksional itu menghasilkan birokrasi pusat dan daerah yang korup. Nah nalar dan reasoningnya di situ. Jadi kalau sekarang mau tuntutan hukuman mati itu tidak menyelesaikan masalah," tegasnya.

"Karena akar masalahnya tidak pernah diungkit-ungkit, tidak pernah dipermasalahkan dan DPR yang otomatis juga didukung pemerintah kan mayoritas parpol tidak mengehendaki revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Nah itu bukti, terakhir yang aktual," sambungnya.

Dengan alasan itu, Busyro menolak tuntutan hukuman mati kepada koruptor. Terlebih untuk menjatuhkan vonis mati perlu proses panjang sampai ke presiden.

"Dari situ maka tuntutan hukuman mati itu sifatnya elementer tidak memiliki akar filsafat. Tidak memiliki konsep yang filosofis. Jadi hanya reaksi saja dan itu tidak akan timbul efek jera karena itu juga menunggu proses sampai kepada presiden," urainya.

Presiden, kata dia, juga punya andil untuk memutuskan hukuman mati. Dalam kasus mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari Batubara keduanya merupakan kader partai yang berkoalisi dengan pemerintah.

"Pertanyaannya beranikah presiden tidak memberi grasi terhadap dua menteri yang itu (berasal dari) partai dominan partai pendukung koalisi," tanyanya.

Selengkapnya soal penjelasan Busyro Muqoddas tolak hukuman mati ke koruptor..

Simak video 'Soal Hukuman Mati Koruptor Bansos, Calon Hakim Agung: Itu Boleh!':

[Gambas:Video 20detik]



Oleh karena itu, penyelesaian korupsi politik, kata Busyro harus menyeluruh dan jangan hanya di hilir saja. Dia juga meminta agar KPK menelusuri kekayaan koruptor.

"Pimpinan KPK tertantang berat ini kejujurannya dihadapkan situasi yang berat berani tidak (menelisik) TPPU sampai ke induk parpol yaitu PDIP dan Gerindra. Mending itu (hukuman seumur hidup) daripada hukuman mati, hukuman mati diturunkan derajatnya kepada hukuman seumur hidup," paparnya.

"Mending itu daripada hukuman mati yang saya juga ragu hukuman mati itu juga syaratnya apa bisa terpenuhi dan apakah hakim berani. Sampai sekarang belum ada hukuman mati untuk koruptor itu," ucapnya.

Sebelumnya diberitakan, Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiarief menilai menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara layak dituntut dengan hukuman mati. Sebab, kedua mantan Menteri itu melakukan korupsi di saat pandemi COVID-19.

"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember. Bagi saya kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ujar Omar dalam diskusi online yang digelar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan tema 'Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi', Selasa (16/2).

Omar juga menjelaskan alasan kenapa dua mantan menteri itu layak diancam dengan tuntutan hukuman mati. Pertama, kejahatan keduanya dilakukan di saat pandemi dan kedua, korupsi tersebut dilakukan dalam jabatan sebagai menteri.

"Karena menurut hemat saya ada paling tidak ada dua alasan pemberatan bagi kedua orang ini, pertama mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat dalam konteks ini adalah COVID-19, dan kedua melakukan kejahatan itu dalam jabatan. Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tipikor," tuturnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads