Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara layak dituntut dengan hukuman mati. Namun, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas tidak setuju dan memilih hukuman penjara seumur hidup untuk kedua menteri tersebut. Apa alasannya?
"Untuk dua (mantan) menteri itu saya cenderung hukuman (penjara) seumur hidup seperti Akil Mochtar dulu," kata Busyro saat dihubungi wartawan, Kamis (18/2/2021).
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM ini pun mengungkapkan alasannya. Dia lalu bicara soal para pembantu presiden yang terjerat korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama, berdasarkan landasan konsep filosofis dari statement pemerintah tentang isu korupsi terkait dua pejabat yang semuanya pembantu presiden. Di periode pertama (Presiden Joko Widodo), menjerat mantan Menpora (Imam Nahrawi) dan mantan Mensos (Idrus Marham)," terangnya.
Busyro lalu mencontohkan soal korupsi mantan Menpora Imam Nahrawi dan mantan Mensos Idrus Marham di era pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemudian di periode kedua, dua menteri lainnya juga terjerat korupsi yakni Juliari dan Edhy Prabowo.
"Nah itu menjadi catatan yaitu itu merupakan jenis contoh korupsi politik atau state capture corruption yang dilakukan justru oleh parpol pusat yang sedang diamanati sebagai menteri di kabinet. Jadi di episentrum kekuasan pemerintah dan parpol karena itu ditunjuk oleh parpol," jelasnya.
Busyro pun menyarankan untuk saat ini yang harus dilakukan yakni mencari akar masalahnya ketimbang memberikan tuntutan hukuman mati. Dia lalu bicara soal pengalamannya di KPK selama empat tahun.
"Menurut hemat saya berdasarkan data di KPK dulu empat tahun kami di sana dan mempelajari periode Pak Antasari juga itu kan korupsi politik itu sudah ada contoh-contohnya. Lalu kami lakukan kajian saat itu akar masalah adalah aspek hulu yaitu demokrasi transaksional yang itu sumbernya Undang-Undang parpol, Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada," paparnya.
Menurutnya, ketiga undang-undang itu menjadi faktor penyebab terjadinya kekuasaan yang korup. Busyro menyebut proses Pilkada yang transaksional menjadi sarana mewujudkan birokrasi yang korup.
"Pemilu, pilkada yang transaksional itu menghasilkan birokrasi pusat dan daerah yang korup. Nah nalar dan reasoningnya di situ. Jadi kalau sekarang mau tuntutan hukuman mati itu tidak menyelesaikan masalah," tegasnya.
"Karena akar masalahnya tidak pernah diungkit-ungkit, tidak pernah dipermasalahkan dan DPR yang otomatis juga didukung pemerintah kan mayoritas parpol tidak mengehendaki revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Nah itu bukti, terakhir yang aktual," sambungnya.
Dengan alasan itu, Busyro menolak tuntutan hukuman mati kepada koruptor. Terlebih untuk menjatuhkan vonis mati perlu proses panjang sampai ke presiden.
"Dari situ maka tuntutan hukuman mati itu sifatnya elementer tidak memiliki akar filsafat. Tidak memiliki konsep yang filosofis. Jadi hanya reaksi saja dan itu tidak akan timbul efek jera karena itu juga menunggu proses sampai kepada presiden," urainya.
Presiden, kata dia, juga punya andil untuk memutuskan hukuman mati. Dalam kasus mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari Batubara keduanya merupakan kader partai yang berkoalisi dengan pemerintah.
"Pertanyaannya beranikah presiden tidak memberi grasi terhadap dua menteri yang itu (berasal dari) partai dominan partai pendukung koalisi," tanyanya.
Selengkapnya soal penjelasan Busyro Muqoddas tolak hukuman mati ke koruptor..
Simak video 'Soal Hukuman Mati Koruptor Bansos, Calon Hakim Agung: Itu Boleh!':