Debat perdana Pilkada Solo 2020 antara Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dengan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) menuai sejumlah sorotan seperti tidak membahas materi yang mendalam. Hal tersebut menjadi evaluasi bagi KPU Solo selaku penyelenggara.
Ketua KPU Solo, Nurul Sutarti, memperkirakan hal tersebut terjadi karena segmen yang banyak. Sementara waktu menjawab cukup pendek.
"Mungkin segmennya terlalu banyak, waktu menjawabnya singkat. Itu akan kita evaluasi bersama," kata Nurul saat dihubungi detikcom, Senin (9/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, terdapat segmen yang mungkin membuat debat tidak fokus. Yakni pada sesi terakhir ketika pasangan calon (paslon) dipersilakan bertanya kepada lawannya.
"Apakah nanti segmen terakhir dihilangkan, akan kita bahas bersama. Atau mungkin materi tetap dari kita supaya fokus, tetapi nanti lebih lama diskusinya," ujar dia.
Terkait materi debat, Nurul mengatakan sejak awal telah ditentukan oleh KPU RI. Dari pedoman itu, KPU Solo membentuk tim untuk materi.
"Sebenarnya sejak awal sudah ditentukan KPU pusat, seperti penanganan COVID-19, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain. Kita tinggal sesuaikan dengan kondisi daerah," ujar dia.
Sementara untuk debat publik kedua akan digelar 3 Desember 2020, sepekan sebelum pelaksanaan Pilkada 2020. Dia telah menentukan tema yakni 'Memajukan Surakarta sebagai Kota Budaya yang Inovatif dalam Keberagaman melalui Kolaborasi dan Penguatan Civil Society'.
"Waktu dan tema besarnya sudah kita tentukan. Tetapi tempatnya masih belum, nanti menyesuaikan anggaran. Tim penyusun materi kemungkinan berbeda, nanti segera kita tentukan," imbuhnya.
Sebelumnya, paslon Pilkada Solo, Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa dan Bagyo Wahyono-FX Supardjo, dianggap belum optimal dalam debat publik perdana kemarin. Gibran dinilai terlalu emosional, sedangkan Bagyo dinilai seperti orang mencurahkan hati alias curhat.
Hal tersebut disampaikan pengamat politik dan hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto. Dia mengaku tidak menangkap gagasan kedua paslon secara mendalam.
"Baik Gibran dan Bajo memang terkesan belum mampu secara kuat memaparkan gagasan besar itu agar mudah ditangkap publik," kata Agus saat dihubungi wartawan, Sabtu (7/11).
"Gibran saya lihat terlalu emosional, cara memaparkan gagasan tidak runut, dan tidak detail. Sedangkan Bajo kesannya bukan orang berkampanye atau mempersuasi, tapi seperti curhat saja," ujarnya.
Agus menilai keduanya memiliki gagasan yang mirip. Gibran lebih unggul dalam gagasan ekonomi dan pembangunan kota. Namun Bagyo lebih tenang dan bisa menyampaikan secara sederhana.
"Tapi Gibran saya pikir juga masih meraba-raba karena risetnya belum mendalam. Bagyo kebanyakan hanya merepetisi atau merespons Gibran saja," ujar Agus.
Kekurangan kedua paslon tersebut, kata Agus, tidak lepas dari latar belakang keduanya. Gibran dan Bagyo dianggap tidak memiliki pengalaman empirik di dunia politik.
"Karena memang tidak punya pengalaman empirik di bidang politik, sosial dan mereka bukan organisatoris. Dan tidak terbiasa memaparkan gagasan besar dalam organisasi politik," ungkapnya.
Agus berharap keduanya bisa tampil lebih baik dalam debat Pilkada Solo kedua bulan depan. Dia pun memberi beberapa saran buat mereka.
"Perlu riset mendalam, solusi juga kurang kuat. Kalau bisa nanti lebih kuat dalam data. Untuk Gibran, tidak perlu menggebu-gebu, rileks saja. Untuk Bagyo, gagasannya kurang global, kurang makro, sehingga kurang mempersuasi orang," tutupnya.