Yogyakarta -
Kemunculan calon tunggal di Jawa Tengah membuat KPU memperpanjang masa pendaftaran peserta Pilkada 2020. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut fenomena calon tunggal ini merupakan kontradiksi dalam sistem demokrasi elektoral.
"Ini memang menjadi semacam kontradiksi dalam sistem demokrasi elektoral. Mestinya demokrasi elektoral memberikan peluang bagi sebanyak mungkin alternatif calon, tapi kenyataannya di beberapa tempat yang muncul kemudian calon tunggal," kata Wakil Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi saat dihubungi wartawan, Senin (7/9/2020).
Wawan melihat munculnya calon tunggal karena dua hal, pertama dari ketokohan yang sudah sangat kuat, baik dari sisi jaringan politik maupun sumber daya ekonomi maupun modal sosial. Kedua, dilihat dari sisi parpol yang menjadi kendaraan utama untuk mendaftar Pilkada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini menunjukkan ketidakmampuan parpol untuk menghasilkan kader kepemimpinan yang cukup mumpuni di sebuah daerah. Sehingga partai meskipun berbeda ideologinya tapi mendukung calon yang sama itu kan aneh," jelasnya.
Kondisi tersebut, menurut Wawan, membuat partai bersifat pragmatis dan mengalahkan ideologi partainya. Wawan pun menyebut koalisi semacam ini tampak transaksional.
"Karena partai tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan kader yang baik, yang muncul adalah pragmatisme politik dalam arti hanya mendukung calon yang kuat dan tidak peduli rekan koalisinya seperti apa," terangnya.
"Ini agak aneh, model koalisi di Indonesia, di pusat terlihat bertengkar tapi ketika di daerah saling bertemu. Ini kan menunjukkan pragmatisme politik atau koalisi politik yang luwes yang banyak hal ditentukan oleh transaksionalisme daripada ideologi itu sendiri," sambung Wawan.
Tonton video 'KPU Terima Pendaftaran 687 Bakal Paslon di Pilkada 2020':
[Gambas:Video 20detik]
Wawan juga menyoroti pola pendaftaran satu calon yang melamar ke banyak partai. Sehingga proses kandidasi sudah berlangsung sejak proses mendekati parpol.
"Jadi yang unik seorang calon yang kuat akan melamar ke banyak partai dan partai yang dilamar itu tidak peduli ideologinya apa. Yang terjadi kemudian semua memberikan rekomendasi sehingga memenangkan pertarungan," terang Wawan yang juga mengajar Kajian Politik Indonesia itu.
Wawan pun melihat menumpuknya dukungan partai pada salah satu pasangan bisa menjadi strategi untuk persiapan Pilpres 2024. Namun, dia melihat dalam konteks ini, ada dua kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
"Mungkin sedikit agak jauh (jika melihat untuk Pilpres) dalam arti kita perlu melihat konteks masing-masing daerah kekuatannya seperti apa. Ini ada kebutuhan elektoral jangka pendek bagaimana parpol bisa mengklaim menang di sekian Pilkada dan sekaligus menguasai suatu daerah secara politik," ungkapnya.
"Kemudian jangka panjang memang nantinya Pilpres, tapi seorang bupati atau gubernur diusung oleh banyak partai kan nggak ada jaminan yang bersangkutan mendukung semua partai. Jadi ini hanya membuat klaim saja," jelas Wawan.
Untuk diketahui, ada lima daerah di Jawa Tengah yang diisi oleh calon tunggal di Pilkada 2020 yakni Semarang, Wonosobo, Sragen, Kebumen dan Grobogan. Mayoritas calon tunggal ini merupakan petahana di masing-masing daerah.
Di Semarang paslon yang maju merupakan petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (Hendi-Ita), Wonosobo pasangan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Wonosobo Afif Nurhidayat-Muhammad Albar, dan bupati petahana Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati-Suroto. Kemudian Wabup petahana Kebumen Arif Sugiyanto-Ristawati Purwaningsih, dan Bupati Petahana Grobogan Sri Sumarni-Bambang Pujiyanto.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini