Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menilai para aktor digital, salah satunya influencer, merupakan bagian penting dalam perkembangan informasi dan demokrasi digital. Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Nyarwi Ahmad menyanggah pendapat tersebut.
Dalam konteks demokrasi, Nyarwi menilai bahwa peran komunikasi publik seharusnya dijalankan oleh pejabat publik karena merekalah yang paling mengerti tentang kebijakan yang dibuat dan memiliki tanggung jawab untuk membangun dialog dengan masyarakat.
"Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengomunikasikan kebijakan publik yang diformulasikan dan hendak diimplementasikannya, bukan para influencer," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima detikcom dari humas UGM, Kamis (3/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi. Kemajuan demokrasi salah satunya terjadi ketika ada interaksi, ada diskusi yang lebih terbuka," imbuh Nyarwi.
Menurutnya, influencer dapat mengambil peran dalam bidang tertentu, misalnya yang berkaitan dengan promosi pariwisata. Namun pelibatan influencer untuk mengomunikasikan suatu kebijakan kepada masyarakat dinilai kurang efektif karena tokoh-tokoh ini belum tentu memahami kebijakan yang dikomunikasikan secara menyeluruh.
Langkah ini juga dapat menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa pejabat publik tidak mampu membangun komunikasi kepada publik. "Jangan sampai para pejabat publik dan pimpinan organisasi politik tersebut dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung ke publik," ujarnya.
Di samping itu, tidak ada kode etik atau standar yang mengatur kerja para influencer, serta asosiasi yang dapat melakukan evaluasi terhadap aktivitas para influencer. Lain halnya dengan pejabat publik yang terikat dengan prinsip-prinsip moral, kesantunan, basis ideologi serta janji politik.
"Jangan mempertaruhkan citra pemerintah pada influencer. Influencer belum menjadi suatu profesi komunikasi publik, jadi baik siapa mereka, apa kompetensinya, bagaimana etika dan standar komunikasinya belum jelas," ucapnya.