"Penyintas (korban) hanya menginginkan UGM sebagai lembaga institusi pendidikan memberi sanksi hukum etik pada pelaku," ujar Udi kepada wartawan di Kantor LSM Rifka Annisa, Jalan Jambon IV Yogyakarta, Kamis (10/1/2019).
Dijelaskannya, LSM Rifka Annisa selaku pendamping korban juga telah bertemu dengan perwakilan Rektorat UGM. Hingga akhirnya mereka bersepakat untuk tidak membawa kasus perkosaan tersebut ke ranah hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelahnya penyidik Polda DIY juga meminta korban melaporkan kasusnya ke polisi pada tanggal 29 November 2018. Namun permintaan tersebut secara tegas ditolak korban dengan sejumlah pertimbangan.
"Pada tanggal 9 Desember 2018 Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) UGM, Arif Nurcahyo, justru melaporkan kejadian tersebut ke Polda DIY tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas," ungkapnya.
Tindak lanjut dari laporan tersebut, Polda DIY memanggil korban. Korban memenuhi panggilan tersebut, dan dia bersedia memberikan keterangan sebagai saksi korban pada tanggal 18 Desember 2018. Namun korban menolak visum et repertum.
"Penyintas menolak melakukan visum et repertum karena luka fisik sudah hilang. Meskipun demikian korban mengajukan permohonan untuk melakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak psikologisnya masih membekas," paparnya.
Udi mengatakan, meski korban tidak menghendaki kasusnya dibawa ke ranah hukum, tapi kini korban akan tatap menghadapi proses hukum yang telah berjalan. Pihaknya pun berharap kasus ini tak dihentikan penyidikannya.
"Penyintas, pendamping, dan tim (kuasa) hukum akan tetap menghadapi proses hukum hingga tuntas. Kasus ini seharusnya tidak dihentikan penyidikannya (SP3), karena akan memberikan preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual," tutupnya.
Tonton juga video 'KKN UGM Diguncang Skandal Dugaan Pelecehan Seksual':
(sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini