Melihat Vihara di Area Bekas Perkebunan Kopi Rangkasbitung

Melihat Vihara di Area Bekas Perkebunan Kopi Rangkasbitung

Fathul Rizkoh - detikNews
Minggu, 23 Jan 2022 09:42 WIB
Vihara di Rangkasbitung
Salah satu warga melakukan ibadah di Vihara Ananda Avalokitesvara, Rangkasbitung. (Foto: Fathul Rizkoh/detikcom)
Lebak -

Sejak masa kolonial Belanda, Kabupaten Lebak terkenal sebagai daerah penghasil kopi. Salah satu lahan bekas perkebunan kopi di Rangkasbitung itu kini berdiri sebuah tempat ibadah.

Vihara Ananda Avalokitesvara, Rangkasbitung, berdiri di atas lahan bekas perkebunan kopi. Tanah itu milik warga pribumi mbah Zakaria, salah satu tuan tanah pada masa itu.

"Dulu ada kebun kopi di Rangkasbitung, kemungkinan besar tempat yang dimaksud di sekitar vihara, karena daerah itu sampai sekarang disebut Kampung Kebon Kopi. Dari onomastika (ilmu tentang asal-usul nama) namanya kebon kopi, berarti perkebunan kopi," kata Ginanjar, sejarawan di Lebak, kepada detikcom, Sabtu (22/1).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ginanjar, pendirian vihara dilakukan setelah Agresi Militer Belanda II tahun 1949 di Indonesia. Sekitar tahun 1950, para etnis Tionghoa yang menetap di Rangkasbitung meminta izin kepada mbah Zakaria untuk membangun vihara.

"Sebelumnya, masyarakat etnis Tionghoa beribadah di rumah masing-masing. 1949 Agresi Militer Belanda II, 1950 baru minta izin pembangunan Vihara," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Menurut Ginanjar, mbah Zakaria merupakan tuan tanah yang dermawan, berbeda dari tuan tanah yang biasa dikenal jahat dan kikir. Mbah Zakaria mempunyai lahan yang cukup luas. Dia mengizinkan masyarakat etnis Tionghoa membangun vihara di atas tanahnya.

"Dulunya mbah ini yang paling banyak tanahnya di sekitar kampung Kebon Kopi. Setelah Vihara dibangun, dibuat juga sekolah orang Tionghoa di depan viharanya, sekarang jadi Terminal Kalijaga, Rangkasbitung," ucap Ginanjar.

Pembangunan vihara, kata Ginanjar, dilakukan secara bertahap. "Izinnya tahun 1950, sekitar 1953 baru mulai membangun. Tapi tidak langsung mewah seperti sekarang, seperti bangunan rumah biasa saja. 1955 baru dipatenkan mulai ada ornamen naga dan sebagainya. Terakhir 2020 direnovasi lagi, atapnya lebih ditinggikan," tuturnya.

Dalam proses pembangunan vihara, lanjut Ginanjar, tidak ada penolakan dari warga setempat yang berbeda agama. Hal itu dibuktikan dengan diizinkannya pembangunan vihara oleh mbah Zakaria.

"Sejak dulu, Rangkas damai saja tidak ada perang selama tidak saling mengganggu. Kalau bahas kerukunan umat beragama jelas, di sini banyak juga gereja," kata Ginanjar.

Keberadaan Masyarakat Etnis Tionghoa di Lebak

Ginanjar menjelaskan masyarakat etnis Tionghoa sudah ada sejak Tan Malaka datang ke Bayah, Kabupaten Lebak. Diperkirakan sekitar tahun 1942-1945 pada masa pendudukan Jepang.

"Dia (Tan Malaka) pernah rapat di salah satu rumah di Rangkasbitung yang menganut paham komunis dan beragama Buddha atau etnis Tionghoa. Berarti sebelum kemerdekaan, etnis Tionghoa sudah ada di Rangkasbitung. Mereka menetap, menikah, dan punya anak di sini," ujarnya.

Vihara di RangkasbitungSalah satu warga melakukan ibadah di Vihara Ananda Avalokitesvara, Rangkasbitung. (Foto: Fathul Rizkoh/detikcom)

Saat ini keberadaan masyarakat Tionghoa di Kabupaten Lebak cukup banyak. Paling banyak tersebar di sekitar ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung.

"Cina Benteng etnis Tionghoa yang secara ekonomi kurang mencukupi, tersebar di daerah Babakan Anyar. Cina sugih yang dianggap sebagai orang mampu ada di Lebak Saninten, Lebak Pasar, dan beberapa keluarga juga ada di belakang Gedung Juang Panitran," tutur Ginanjar.

Halaman 2 dari 2
(bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads