Menurut Rizwan, salah satu tantangan menjadi juru bahasa isyarat adalah harus bisa konsentrasi. Pasalnya, pernyataan yang keluar dari mulut narasumber harus langsung dikonversi ke dalam bahasa isyarat tanpa kehilangan tempo.
"Biasanya juru bahasa isyarat itu punya batas, Rizwan paling kuat setengah jam. Karena perlu konsentrasi yang tinggi, kalau ada acara yang lebih dari satu jam, membutuhkan dua juru bahasa isyarat," ucap Rizwan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan lainnya dari bahasa isyarat, adalah bukan soal menghafal susunan kosakata, namun pengonsepan pernyataan narasumber dan menyusunnya menjadi bahasa isyarat. "Berbedalah misalnya dari grammar-nya, seperti saya makan pisang, kalau di bahasa isyarat kita simbolkan pisangnya dulu, baru kemudian simbolkan makan," ujarnya.
Tak jarang juga ia temukan, ada teman tuli yang tak memahami isyarat yang ditunjukkan. "Biasanya teman tuli yang di daerah, yang tidak terjangkau informasinya. Ada yang tidak bisa menggunakan bahasa isyarat, dan hanya menggunakan home sign, hanya dia saja yang paham bahasa dia. Biasanya lebih ke gestur atau gerakan tubuh," ucap Rizwan.
Salah satu hal yang menarik dari juru bahasa isyarat ini, adalah soal penggunaan warna pakaian saat melakukan interpretasi. Menurut Rizwan, pengguna warna baju gelap seperti hitam, lebih memudahkan teman tuli untuk lebih fokus menyimak gerakan tangan dan lebih nyaman di mata.
"Kalau baju warnanya terang bisa terlalu cape ke mata, terus filosofi baju hitam itu, kita ini hanya sebagai penyampai informasi," kata Rizwan.
Sehari-hari, Rizwan aktif mendampingi teman-teman tuli yang belajar di Panti Sosial Rehabilitasi penyandang Disabilitas Mental Sensorik Netra, Rungu Wicara, Tubuh (PSRPD MENSENETRUWITU) Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.
(yum/bbn)