Langkah Menyelamatkan Diri Saat Tersapu Tsunami
Sementara itu, Ahli Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Dr Amien Widodo membagikan cara menyelamatkan diri saat di darat maupun saat ada di lautan, seperti nelayan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Amin, pengalaman ini sudah dilakukan oleh orang Jepang pada tsunami tahun 2011 lalu. Di situ terdapat seorang guru yang bisa menyelamatkan hampir seluruh muridnya karena berdasarkan pengalaman melihat tsunami di Aceh tahun 2004.
"Dia ngajarin muridnya mengambang di air, berenang mengambang saja ngikuti arus air," kata Amien saat dihubungi detikcom, Senin (28/9/2020).
"Itu memang ditanamkan ketika terjadi tsunami, jangan dilawan. Jadi dia harus mengambang seperti benda-benda di situ. Karena waktu tsunami itu ada kayu, ada mobil dan lainnya. Kita harus seperti kayu mengambang mengikuti arus, dan itu bisa menyelamatkan banyak orang pada waktu itu dan sangat terkenal di media," jelas Amin.
Amin mengatakan Jepang memiliki kejadian yang sama dengan Indonesia. Tetapi Jepang sudah belajar dari berabad-abad sebelumnya dan menyimpulkan bahwa yang bisa menolong diri mereka itu adalah dirinya sendiri 35%, keluarga 32%, masyarakat 38%.
Artinya, siapa pun harus berpengetahuan terkait ancaman tsunami yang ada di daerah itu. Jika di daerah tersebut sering terjadi gempa dan tsunami, maka setiap individu harus belajar terkait cara menghindari. Itulah pentingnya menyelamatkan diri ketika berada di dalam ruangan.
Jika berada di luar rumah, terlebih ketika di dalam mobil, maka dianjurkan untuk meninggalkan kendaraan. Tetapi bisa juga mengenakan transportasi ketika gempa tidak berpotensi tinggi.
"Misalnya gempa besar 20 detik, semua goyang bisa sampai 90 derajat, gempa lebih dari Magnitudo 6,5 dan itu bisa menimbulkan tsunami. Segera lari keluar, kalau pakai mobil masih bisa punya waktu 20 menit untuk melarikan diri. Tapi biasanya kalau jalan sudah crowded nggak bisa kemana-mana, ya lebih baik harus segera keluar dari mobil mencari tempat yang tinggi 20 meter," jelasnya.
Sebelum tsunami, kata Amin, surutnya air laut untuk kembali lagi membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Saat air laut menuju ke daratan, kecepatannya sekitar 600/km per jam.
"Artinya, kalau masyarakat yang ada di pantai semua harus tahu kalau terjadi gempa, air lautnya surut, cepat masuk ke laut jauh. Surut sangat cepat, banyak ikan terkapar atau kadang-kadang air laut terbuka bau belerang, ledakan-ledakan kecil karena ada gas metana ketemu udara bisa terjadi. Itu tsunami akan terjadi. Itu punya waktu 20 menit harus cari tempat yang tinggi itu masih cukup," kata dia.
"Biasanya pantai selatan ada bukit-bukit sekitarnya, bisa segera mencari bukit. Dan mestinya pihak pemerintah daerah kan di kawasan pantai menjadi tempat wisata, seharusnya sudah ada jalur evakuasi menuju kawasan tinggi," tambahnya.
Sedangkan ketika berada di tengah laut, seperti para nelayan justru harus berada di tengah laut. Sebab, ombak sedang menuju ke pantai dan setelah itu ombak dari darat akan kembali lagi ke laut. "Jadi harus tetap di tengah laut sampai selesai," ujarnya.
Pentingnya pula untuk warga yang tinggal di daerah rawan tsunami untuk tidak memelihara hewan buas dan beracun. Karena akan mempersulit penyelamatan atau evakuasi orang.
"Kalau penyelamatan bisa membahayakan penyelamat. Hewan-hewan itu ndak boleh ada. Karena itu bisa membahayakan yang mau menolong dan biasanya kalau tsunami ketumpukan kayu dan mobil dan sebagainya," pungkas Amin.
(mud/mud)