Pegiat literasi di Bandung, Didin Tulus, dilaporkan kepada polisi gegara komentar di Facebook (FB). Pihak pelapor memberikan penjelasan terkait duduk perkara hingga akhirnya membuat laporan polisi.
Pelapor Didin Tulus diketahui merupakan pimpinan penerbit Geger Sunten, Taufik Faturohman. Ia selaku penerbit buku yang bukunya dikomentari Didin Tulus di unggahan rekannya, Aan Merdeka Purnama, pada 4 Juli 2020.
Taufik menjelaskan awal mula pelaporan itu gegara komentar Didin Tulus di FB. Kala itu, Didin menulis komentar pada akun temannya yang mengunggah buku dan kalimat akan diberi gratis. Dalam unggahan itu, Didin menuliskan komentar yang intinya bahwa dia harus membeli buku itu dengan paksaan dan ancaman tidak naik kelas kalau tidak membeli buku tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam unggahannya itu, Didin tag pengarang buku Tatang Sumarsono. Terjadi balasan komentar, Tatang lalu melanjutkan lagi atau tag ke akun Taufik Faturohman selalu penerbit buku yang kemudian menuliskan komentar bertanya terkait sekolah yang memaksa membeli buku itu.
"Saya ingin mengetahui masalah sebenarnya. Saya bertanya ke Didin sekolah mana yang jual paksa?" ucap Taufik kepada detikcom, Senin (28/9/2020).
Taufik menuturkan tujuannya menanyakan itu agar meminta kejelasan terkait komentar yang dimaksud Didin. Sebab, nantinya bila terbukti memang ada unsur paksaan, pihaknya bisa mengecek langsung ke sekolah maupun menegur marketingnya.
"Kalau masih ada sekolah yang menjual buku terbitan CV Geger Sunten secara paksa dengan ancaman, kepala sekolah dan marketing kami akan saya tegur," katanya.
Namun alih-alih mendapat jawaban, Didin justru tak menjawab lagi pertanyaan Taufik itu. Didin menuliskan komentar baru lagi yang intinya menyebut budayawan jadi mafia buku.
"Saya tanya siapa yang dimaksud budayawan mafia tersebut. Dia tetap tidak menjawab. Malah berkomentar lagi mafia buku pelajaran bahasa Sunda harus dibubarkan. Dia memang tidak menyebut nama, tapi komentarnya tendensius," tutur Taufik.
Menurut Taufik, permasalahan itu bisa selesai apabila Didin langsung memberikan jawaban atau klarifikasi atas komentarnya itu. Namun justru keesokan harinya, Taufik justru mendapati Didin mengunggah di Facebooknya buku pelajaran bahasa Sunda yang diterbitkan Geger Sunten. Didin pun mengunggah status yang intinya masih seputar kewajiban membeli buku bahasa Sunda ditambah curhatannya perihal masalah ekonomi yang dialaminya.
"Saat menulis di medsos, sepertinya Didin tidak pernah berfikir bahwa akan ada orang yang tersinggung," kata Taufik.
Taufik pun lantas membuat laporan polisi. Menurut Taufik, sebelum membuat laporan, pihaknya sudah mengultimatum Didin Tulus. Namun, Didin justru tak merespons.
Dia menambahkan laporan ini dilakukan guna memberikan efek jera kepada Didin Tulus agar lebih bijak dalam bermedia sosial. Bahkan, rekan-rekan Taufik juga mendukung upaya pelaporan ini.
"Tadinya saya tidak akan lapor, kalau dijawab di postingannya Aan Merdeka Permana, masalahnya selesai tidak akan berkepanjangan. Tapi nyatanya dia tidak menjawab. Teman-teman saya menyuruh kasus dengan saya dilaporkan ke polisi, agar kelak kalau Didin menulis lagi di medsos, dipikirkan terlebih dahulu," tutur Taufik.
Barulah usai laporan dibuat dan Didin diperiksa polisi, Didin menghubungi Taufik. Namun, Taufik tak menjawab telepon Didin.
"Biar diperiksa dulu, biar ada efek jera lah," ucap Taufik.
Didin dilaporkan ke Polrestabes Bandung atas dugaan pelanggaran UU ITE. Didin pun sudah dimintai keterangan oleh polisi pada Jumat (18/9).
"Satreskrim menindak lanjuti laporan darin pelapor saja sesuai yang diatur dalam undang-undang," kata Kasat Reskrim Polrestabes Bandung AKBP Galih Indragiri.