"Sedikit peluang yang memberi jalan mudah bagi pemakzulan Presiden Indonesia adalah adanya perbuatan tercela yang dapat dimaknai secara multitafsir dan sangat tergantung pada pemahaman dan penafsiran para politisi di DPR dan MPR," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva.
Hal itu dia tuliskan dalam halaman 161 buku berjudul Impeachment Presiden edisi revisi terbitan KonsPress yang dikutip detikcom, Kamis (25/9/2014). Buku edisi revisi ini merupakan penyesuaian dari edisi sebelumnya yang disadur dari disertasi Hamdan saat meraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 2010 silam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan demikian persoalannya adalah sampai sejauh manakah lingkuh dan batasan perbuatan tercela? Apalah diserahkan pada permainan politik di parlemen?" ujar Hamdan melontarkan diskursus.
Namun permainan politik di parlemen itu akan diuji oleh MK. Apakah berdasar konstitusi atau tidak. Jika tidak maka MK harus menyatakan pendapat DPR tidak benar. Batasannya, menurut alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu, tolak ukur perbuatan tercela adalah perbuatan yang melanggar hukum. Namun menjadi pertanyaan apakah pelanggaran hukum itu berarti melanggar UU semata atau ada tolak ukur lain.
"Misalnya pelanggaran sumpah jabatan presdien, pelanggaran UUD, pelanggaran UU lainnya yang tidak merupakan tindak pidana serta pelanggaran norma moral, norma agama dan lainnya," ujar pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara itu.
Untuk menjawab hal itu, maka perlu dicari asal-usul munculnya kalimat 'perbuatan tercela' itu. Sehingga Hamdan menarik kesimpulan, perbuatan tercela itu tidak hanya perbuatan yang diancam pidana kurang dari lima tahun penjara saja.
"Akan tetap bertentangan dengan norma agama, norma moral, norma adat serta pelanggaran konstitusi dan pelanggaran hukum lainnya yang merendahkan martabat presiden," ucap hakim konstitusi yang menjabat sejak tahun 2010 lalu.
(asp/mpr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini