INTERMESO
Bagi warga Legon Pakis, Ujung Jaya, Pandeglang, masuknya listrik bagaikan mimpi. Kini mereka bisa menonton televisi tanpa harus berjalan kaki. Azan pun terdengar dari pengeras suara masjid.
Foto: Ibad Durohman/detikX
Langit mulai gelap dan lampu-lampu mulai menyala di Legon Pakis, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Suara azan magrib pun terdengar dari masjid di kampung itu.
Siapa sangka, suara azan lewat pengeras suara itu baru tiga bulan terakhir terdengar di kampung di ujung barat Pulau Jawa tersebut. Sebelumnya, masjid itu hanya menggunakan kentungan atau beduk sebagai penanda masuknya waktu salat.
“Saat listrik belum ada, masjid pakai aki, tapi tidak kuat untuk menyalakan speaker (pengeras suara),” terang Abah Suhaya, tokoh Kampung Legon Pakis, kepada kami saat mendatangi kampung itu pada Senin, 8 Mei 2017.
Masjid bernama Miftahul Jannah itu, kata Suhaya, berdiri sejak 1950-an. Awalnya, masjid itu berupa bangunan panggung terbuat dari kayu. Memasuki tahun 2000, masjid itu kemudian dibangun secara swadaya oleh masyarakat sekitar. Saat ini bangunan satu lantai tersebut sudah permanen lengkap dengan kubahnya.
Hadirnya listrik di Legon Pakis sejak Januari 2017 rupanya mengubah suasana kampung itu. Bahkan bagi masyarakat sekitar, hadirnya listrik bagaikan mimpi. Selama bertahun-tahun, kampung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon itu hanya mengandalkan lampu minyak atau petromaks.
Rumah salah satu warga Legon Pakis, Sarnaan, yang kini dipasang meteran sendiri.
Foto: M. Rizal/detikX
Dulu mah, ya Allah, mau nonton bola mesti ke kampung sebelah. Sekarang, kalau ada bola, ya nonton. Kalau nggak ada bola, ya sinetron terus, ha-ha-ha…”
Sebenarnya pada tahun 2000 pembangkit listrik tenaga surya sempat didirikan di kampung itu. Namun hanya beroperasi setahun, pembangkit itu tak berfungsi lagi. Untuk penerangan, akhirnya warga berinisiatif menarik kabel ke kampung sebelah, Cikawung Sabrang, yang berjarak 2 kilometer.
“Satu meteran listrik di Cikawung Sabrang dibagi untuk 14 rumah di Legon Pakis,” ujar Suhaya.
Namun, untuk bisa menikmati listrik dari kampung tetangga, biaya yang mesti dikeluarkan warga Legon Pakis tidaklah murah. Masing-masing warga dikenai Rp 700 ribu untuk biaya kabel. Selain itu, per bulan warga harus membayar Rp 70 ribu.
Dengan iuran Rp 70 ribu sebulan, warga hanya diperbolehkan menyalakan tiga lampu dan menggunakan satu colokan listrik untuk mengisi ulang baterai telepon seluler. Lebih dari itu, listrik akan turun karena kelebihan beban.
Beruntung, saat ini warga sudah terhubung langsung dengan listrik. Dengan uang Rp 70 ribu, warga bisa menyalakan lampu dan menyalakan televisi juga alat penanak nasi. “Pas pertama lihat tiang listrik ke sini, asa-asa mimpi (berasa mimpi) dipikir-pikir. Listrik sampai kadieu (ke sini) melihat medan nu beurat, ya Allah. Alhamdulillah listrik bisa stabil di kampung saya,” ucap Suhaya.
Setidaknya, ada 40 tiang listrik yang kini berdiri di Legon Pakis. Bahkan PLN juga menyediakan dua gardu sentral supaya stabil dan tidak byar-pet. “Sebelumnya, warga kampung sebelah suka bilang, listrik tidak akan sampai ke kami. Sekarang mereka malu karena PLN kasih dua gardu sentral di Legon Pakis,” kata Suhaya.
Baca Juga : Jalan Kaki 5 Km Demi Atasi Byar-pet
Pola hidup masyarakat Legon Pakis pun berubah. Kini mereka mulai meninggalkan kayu bakar untuk memasak, sehingga tidak merusak lingkungan. Apalagi wilayah kampung itu bersebelahan dengan hutan Taman Nasional Ujung Kulon.
Suhaya pun bersyukur, warga kampung, yang berjumlah 105 keluarga, seluruhnya sudah memiliki meteran sendiri. “Sekarang, walaupun sudah tua, saya sudah bisa membeli TV, mesin air juga ada. Ripuh (repot) kan kalau nimba terus,” tutur Suhaya.
Kebahagiaan yang sama dikatakan Sarnaan, warga Legon Pakis lainnya. Saat kami menyambangi rumahnya, ia terlihat serius menonton berita yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional via parabola.
Padahal, sebelum listrik masuk, bapak satu anak ini memilih menutup pintu menjelang senja karena lingkungan sekitar gelap. “Dulu mah, ya Allah, mau nonton bola mesti ke kampung sebelah. Sekarang, kalau ada bola, ya nonton. Kalau nggak ada bola, ya sinetron terus, ha-ha-ha…,” begitu kata Sarnaan sambil menunggui bayinya yang sedang tidur di ayunan.
Rupanya bukan hanya warga Legon Pakis yang baru menikmati listrik dengan meteran sendiri. Beberapa warga di desa lain yang berada di Kecamatan Sumur juga baru bisa menikmati listrik secara mandiri sejak tiga bulan lalu.
Warga Kertamukti di depan pintu rumahnya yang telah disambung listrik PLN.
Foto: M. Rizal/detikX
Baca Juga : Berjuang Demi Tegaknya Tiang
Misalnya Nuryati, 52 tahun, warga Desa Kertamukti, yang mengaku selama puluhan tahun bergantung pada minyak tanah untuk penerangan. ”Saat anak kedua lahir sekitar 5 tahun lalu, rumah saya ada listrik, tapi nyolok ke rumah bibi saya. Punya meteran sendiri itu baru 3 bulan lalu,” terang Nurhayati.
Sewaktu nyolok ke rumah kerabatnya, ia harus membayar bayar Rp 70 ribu sebulan untuk lampu saja. Sekarang, dengan punya meteran sendiri menggunakan pulsa, Nurhayati hanya mengeluarkan uang Rp 50 ribu untuk dua bulan. Sebab, ia sampai saat ini menggunakan listrik hanya untuk penerangan.
“Dulu saya mah takut punya meteran pulsa. Soalnya, kata tetangga, nanti beak rumah, beak sawah, mun masang eta token (nanti habis rumah, habis sawah kalau memasang token),” kata Nurhayati.
Namun kekhawatiran perempuan asal Bogor itu tidak terbukti. Malah ia mengaku bisa berhemat dengan memakai meteran sendiri dan uangnya bisa ditabung untuk membeli keperluan lain. “Baru kemarin saya dibelikan magic com (penanak nasi). Jadi nggak repot lagi pakai kayu. Kalau pakai kayu itu ngebul, ha-ha-ha…,” ujarnya bercanda.
Eli Haryati, 50 tahun, warga Kampung Sawah, Desa Cigorondong, juga tidak bisa menutupi kegembiraannya. Selama bertahun-tahun ia dan warga kampungnya harus menarik kabel sejauh 1 kilometer untuk bisa mendapatkan penerangan.
Meteran untuk warga kampung ditempatkan di pinggir jalan dekat Balai Desa Cigorondong. Di situ meteran ditutupi kayu layaknya kandang merpati. Hal ini dilakukan supaya meteran tidak kehujanan dan kepanasan.
Tiap satu meteran digunakan untuk tiga sampai lima rumah. Total pembayaran kemudian dibagi rata. Dan kesepakatannya, listrik hanya untuk lampu penerangan di rumah. “Mau nonton TV susah. Lampunya remang-remang juga,” ujar ibu tiga anak ini.
Begitu punya meteran sendiri, Nurhayati kini punya televisi, kulkas, dan barang elektronik lainnya. Dan sekarang, jika ingin menonton sinetron, Eli tidak harus bareng-bareng sama tetangga.
Soal aliran setrum di Kampung Legon Pakis dan desa-desa lain di Kecamatan Sumur, Manajer Sumber Daya Manusia dan Umum PLN Distribusi Banten Dedi Muhidin mengatakan pemasangan listrik di Legon Pakis merupakan Program Listrik Masuk Desa sejak 2016.
Masyarakat di Legon Pakis mulai mengajukan permohonan pemasangan listrik pada Januari 2016 dan pada Mei tahun yang sama baru diproses, mengingat kondisi geografis yang relatif sulit. Apalagi tiangnya harus didatangkan dari Tangerang, yang jaraknya seratusan kilometer dari Legon Pakis.
Rumah warga di Cigorondong yang telah tersambung listrik PLN.
Foto: M. Rizal/detikX
“Proses pemasangan tiang dan kabel baru selesai Desember 2016. Jadi, prinsip kami, begitu ada permohonan, langsung kita eksekusi,” tutur Dedi.
Sementara itu, untuk desa-desa lain, seperti Kertamukti dan Cigorondong, menurut Dedi, sifatnya perluasan jaringan. Sebab, jaringan utama sudah terpasang lima tahun lalu di kedua desa itu.
Simak terus hasil perjalanan detikXpedition Banten Selatan lainnya di sini:
Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.