INTERMESO
Untuk mengirim satu tiang listrik di Desa Sukamulya, dibutuhkan waktu seharian. Medan jalan yang berat dan jembatan gantung menjadi rintangan.
Foto: Ibad Durohman/detikX
Pria muda itu terlihat sangat lelah. Tubuhnya tersandar pada gerobak kecil yang terparkir di ujung jembatan gantung. Napasnya tersengal dan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Pria berkaus hitam berompi merah itu bernama Taufik.
“Saya istirahat sebentar, nanti lanjut lagi. Setengah mati angkut tiang ini,” ucap Taufik saat kami menghampirinya, Selasa, 9 Mei 2017. Taufik adalah petugas lapangan dari PT PLN Unit Malingping yang bertugas memasang tiang listrik.
Sudah empat hari Taufik berada di Desa Sukamulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, untuk memasang 29 tiang di Kampung Cigombong, Sukamulya, dan Bojong—semuanya berada di wilayah Desa Sukamulya.
Dan memasuki hari keempat, belum ada satu tiang pun yang bisa didirikan. Medan yang berat, menurut Taufik, menjadi penyebab utamanya.
Sebab, perjalanan satu tiang untuk tiba di lokasi saja setidaknya butuh waktu setengah hari lantaran harus melewati jembatan gantung sepanjang 200 meter yang membelah Sungai Cikoret.
Petugas menurunkan tiang listrik untuk dipasang di Kampung Bojong, Desa Sukamulya, Cibeber.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Saya yang mengajukan permohonan jalur listrik. Sebelumnya sangat berisiko kalau hujan dan kabel tertimpa pohon. Karena selama ini kami pakai bambu untuk penyangga kabel.”
Tim detikXpedition sempat menyaksikan bagaimana sulitnya memasang jaringan listrik di tempat tersebut. Jarak Desa Sukamulya dari jalan raya Cikotok sekitar 7 kilometer. Kondisi jalan pun hanya bebatuan yang hanya bisa dilintasi satu mobil.
Tak aneh jika perjalanan tiang listrik yang terbuat dari cor beton yang berat per unitnya hampir 1 ton (tepatnya 900 kilogram) itu begitu lamban dan melelahkan.
Soal perjalanan tiang ke Desa Sukamulya, Taufik membeberkan seluruh tiang sebanyak 29 buah ditaruh di ujung jalan menuju Sukamulya. Dari situ, tiang kemudian diangkut menggunakan mobil pikap berukuran kecil, yang hanya bisa mengangkut dua tiang.
Mengangkut dua tiang itu pun membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk melintasi jalan sepanjang 5 kilometer yang sempit berliku dan licin. Apalagi banyak tanjakan curam.
Setelah sampai ke Kampung Bojong, batas jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat, tiang itu kemudian diangkut menggunakan gerobak beroda dua sejauh 2 kilometer.
Bukan hanya itu. Tiang-tiang ini juga harus didorong secara manual melewati jembatan gantung beramai-ramai. Setelah melewati tantangan jembatan gantung, tiang harus melewati lorong kampung yang sempit serta lahan persawahan.
Baca Juga : Ketika Azan Bergema di Desa Terpencil Banten
Video : Muhammad Zaky Fauzi Azhar
“Dua tiang ini masuk ke kawasan Cikotok sejak pukul 10.00 WIB. Dan jam segini (17.10 WIB) baru masuk kampung tujuan. Bisa dibayangkan repotnya,” ujar Taufik, yang mengaku mobil pikapnya harus turun mesin akibat wira-wiri ke kampung itu.
Taufik, yang bekerja di PLN Unit Malingping sejak 1999, pun mengaku tidak bisa memastikan kapan pemasangan 29 tiang itu selesai. Apalagi akhir perjalanan tiang di Kampung Bojong berada di punggung bukit. Di situ terdapat 10 keluarga yang belum teraliri listrik secara mandiri.
Sudarjat, 51 tahun, warga Kampung Bojong, Desa Sukamulya, mengatakan sebenarnya mereka sudah lama menikmati aliran listrik lewat jaringan pembangkit listrik tenaga air yang dibangun Aneka Tambang (Antam) di Cikotok.
Desa Sukamulya memang berbatasan langsung dengan Desa Cikotok, tempat penambangan emas pertama di Indonesia sejak pemerintahan kolonial Belanda. Menurut catatan sejarah, emas di Cikotok mulai dieksploitasi pada 1939 di bawah kendali perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw Maatschapij Zuid Bantam (MMZB).
Tiga tahun berselang, tambang tersebut berpindah tangan ke Jepang saat Perang Dunia II berkecamuk. Tapi perusahaan Jepang, Mitsui Kosha Kabushiki Kaisha, yang mengambil alih kawasan itu, hanya menambang timah hitam atau timbal di Cirotan, yang sekarang masuk wilayah administratif Desa Sukamulya.
Tiang listrik yang beratnya nyaris satu ton itu harus melewati medan sulit, salah satunya jembatan gantung.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Timah hitam itu sengaja ditambang Jepang sejak 1942 hingga 1945 untuk keperluan amunisi menghadapi perang Pasifik yang digelorakan Negeri Matahari Terbit.
Pascakemerdekaan Indonesia, penambangan di situ sempat vakum hingga Presiden Sukarno memerintahkan NV Tambang Emas Tjikotok menggarapnya pada 12 Juli 1958.
Sepuluh tahun kemudian, sejak 5 Juli 1968, pada era Presiden Soeharto, tambang emas Cikotok mulai digarap PT Antam hingga tutup beroperasi pada 2011.
Meski tambang tidak lagi beroperasi, masih terlihat banyak warga yang terus mengais rezeki dari emas yang tersisa. Mereka adalah para gurandil alias penambang liar yang datang dari berbagai wilayah di Lebak, Banten.
“Kalau lagi beruntung, seminggu mereka bisa dapat 3 gram atau lebih. Tapi banyak juga yang bawa karung pasir dari tambang, pas digiling, tidak dapat apa-apa,” jelas Madro’i, Ketua RT 02 RW 03 Kampung Bojong, Desa Sukamulya.
Sayangnya, hampir semua gurandil yang kami sapa memilih bungkam. Bahkan, saat kami mencoba menyapa segerombolan gurandil yang sedang berteduh, salah seorang di antara mereka menyarankan kami bertemu dengan jaro. Sebutan jaro di wilayah Banten merupakan panggilan untuk seorang kepala desa atau jawara.
Perlu waktu berjam-jam untuk bisa mengangkut tiang listrik di pedalaman Banten itu.
Foto : Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikcom
Baca Juga : Jalan Kaki 5 Km Demi Atasi Byar-Pet
“Itu ka Jaro bae. Sekarang lagi di lubang dia,” ucap seorang pria yang tubuhnya belepotan tanah sambil berlalu.
Bagi para gurandil yang bukan warga sekitar, tutupnya tambang bisa jadi berkah. Namun, bagi warga sekitar, seperti Desa Sukamulya, dampaknya sangat terasa. Apalagi sebelumnya warga mengandalkan fasilitas dari Antam, terutama soal urusan listrik.
Warga akhirnya menarik kabel dari desa lain yang jaraknya berkilometer jauhnya sehingga sering putus dan tegangannya tidak stabil. Baru pada November 2016, warga Kampung Bojong mengajukan permohonan secara resmi ke PLN untuk dipasangi tiang. Madro’i, Ketua RT 02 RW 03 Kampung Bojong, Desa Sukamulya, adalah orang yang jadi inisiatornya.
“Saya yang mengajukan permohonan jalur listrik. Sebelumnya sangat berisiko kalau hujan dan kabel tertimpa pohon. Karena selama ini kami pakai bambu untuk penyangga kabel,” tutur Madro’i.
Sementara itu, Deri Prasetio Utomo, Deputi Manajer Program Listrik Masuk Desa PLN Banten, menyebut pihaknya bergerak cepat begitu mendapat proposal penambahan jaringan. Setelah itu, dilakukan survei lokasi dan kelayakan secara akses. “Jadi, walau medan berat tapi ada akses jalan atau jembatan, permohonan akan kita setujui. Kecuali tidak ada akses sama sekali,” ujar Deri.
Gotong royong petugas membawa tiang listrik.
Foto : Ibad Durohman/detikX
Lokasi Desa Sukamulya, menurut Deri, masuk kategori medan berat. Karena mobil tidak bisa masuk untuk membawa tiang. Apalagi harus melewati jembatan gantung dan area persawahan.
Semua kerja keras itu, kata Deri, dilakukan untuk menjangkau masyarakat di pedalaman Banten supaya bisa dialiri listrik secara aman dan benar sehingga bisa melindungi dan menyejahterakan masyarakat di pedalaman.
Simak terus hasil perjalanan detikXpedition Banten Selatan lainnya di sini:
Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.