Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk
Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk

SPOTLIGHT

Biaya Kuliah Selangit di Kampus Pelat Merah

Biaya pendidikan di perguruan tinggi mengalami kenaikan signifikan. Di sejumlah kampus, regulasi diubah dan iuran wajib hingga ratusan juta rupiah juga mulai diterapkan.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 22 Mei 2024

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman, Maulana, menganggap kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tak masuk akal. Padahal, selama beberapa tahun, Unsoed tak pernah menaikkan biaya kuliah.

"Contohnya jurusan Hubungan Internasional, sebelumnya paling tinggi cuma Rp 3,5 juta, tiba-tiba mereka muncul di laman dapet Rp 13 jutaan paling tinggi. Terus Teknik Sipil, sebelumnya itu cuma Rp 4 jutaan, tiba-tiba dapet Rp 19 juta. Maba langsung nanya ke kita, ‘Kak, kok ini besar banget, sedangkan informasi yang tahun lalu tuh gak sebesar ini’," kata Maulana kepada detikX saat ditemui pada Sabtu, 18 Mei 2024.

Saat audiensi dengan pihak rektorat, mereka mengaku memperoleh jawaban normatif. Pihak kampus beralasan kenaikan itu diakibatkan oleh inflasi dan telah mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang tercantum dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.

SSBOPT dihitung berdasarkan Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi atau kualitas dari suatu kampus, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. Celakanya, standar kemahalan itu dihitung berdasarkan pulau, bukan daerah secara spesifik.

"Jangankan berdasarkan pulau, berdasarkan provinsi saja, contohnya Unsoed di Banyumas dengan Unnes atau Undip yang di Semarang, masih satu provinsi tapi udah jauh berbeda UMR-nya, biaya kebutuhannya. Segala macam kan udah jauh berbeda di sana. Di Peternakan, jurusanku, sebelumnya itu paling mahal Rp 2,5 juta, sekarang Rp 14 juta, naik lima kali lipat lebih," ucap Maulana.

Kenaikan itu, menurut Maulana, tidak diimbangi dengan perbaikan sistem penentuan UKT. Masih banyak mahasiswa yang selama ini berekonomi lemah justru mendapat biaya kuliah tinggi. Bahkan, untuk dapat memperoleh UKT golongan rendah seperti I dan II, harus menyertakan kartu Program Keluarga Harapan. Kampus enggan menerima surat keterangan tidak mampu dari desa.

"Kemarin tuh ada Jurusan Pertanian. Gaji orang tuanya Rp 1,5 juta dengan tanggungan empat orang, tapi dapat UKT Rp 8 juta," ungkap Maulana.

Di sisi lain, ketika proses perkuliahan, tidak tertutup kemungkinan mahasiswa masih dipaksa untuk mengeluarkan dana tambahan untuk praktikum di beberapa jurusan.

"Kemarin tuh di Kesehatan. Itu masih ada yang bayar. Tapi kalau di Peternakan sendiri, paling kayak bahan-bahan saja. Kami misalnya disuruh bawa ayam atau bawa kelinci segala macem, itu masih dari Kami sendiri," ucapnya.

Selain UKT, para mahasiswa yang masuk melalui jalur ujian mandiri yang diselenggarakan oleh kampus juga dikenai Iuran Pengembangan Institusi. Iuran itu bersifat wajib dan tersedia lima golongan IPI. Di Unsoed, misalnya di jurusan Keperawatan, IPI golongan terendah dipatok Rp 60 juta dan yang tertinggi Rp 200 juta. Adapun untuk jurusan lain, seperti Komunikasi, dipatok Rp 40 juta hingga Rp 100 juta. Adapun kuota mahasiswa baru di Unsoed untuk jalur mandiri dipatok 30 persen dari seluruh mahasiswa baru.

Mahasiswa demo tolak kenaikan UKT di halaman Rektorat Unsoed Purwokerto, Banyumas, Jumat (26/4/2024).
Foto : Anang Firmansyah/detikJateng

Wakil Rektor Bidang Akademik Unsoed Noor Farid membenarkan ada kenaikan UKT yang signifikan. Ia mengklaim kenaikan itu dipicu oleh adanya orang tua mahasiswa yang protes karena merasa UKT Unsoed terlalu murah.

"Kenapa Hukum sekarang jadi Rp 14 juta, sebelumnya itu ada orang tua datang, ‘Pak, pendapatan saya itu Rp 120 juta per bulan, UKT-nya kok hanya Rp 3 juta, Pak, bener ini Rp 3 juta,’ kan gitu," ucapnya.

"Contoh ya ini, Fakultas Hukum. Tahun lalu itu maksimal Rp 3 juta, yang sekarang maksimal Rp 14 juta," lanjut Farid kepada detikX, Senin, 20 Mei 2024.

Menurutnya, Unsoed tetap menyediakan UKT golongan I dan II, yang diklaim terjangkau. Namun, untuk memperoleh UKT golongan tersebut, para calon mahasiswa harus menyertakan kartu PKH.

“Jadi kalau level I-II ini, kalau kampus kami menerjemahkan bagi orang yang tidak mampu itu pemerintah kan mengakui adanya orang yang tidak mampu itu punya kartu Program Keluarga Harapan atau sejenisnya. Kalau keterangan (tidak mampu) dari desa, itu nggak kami akui," tegasnya.

Farid mengklaim, dalam tahun ajaran sebelumnya, Unsoed telah menggelontorkan Rp 1,8 miliar untuk membantu pembiayaan kuliah mahasiswa yang memegang Kartu Indonesia Pintar.

"Dia KIP ada, tapi penganggaran dari pemerintah nggak ada. Akhirnya kami usahakan dengan CSR maupun yang lainnya sampai sebesar Rp 1,8 miliar. Kalau pengurangan UKT sampai 50 persen, itu kita (menghabiskan) kira-kira sampai Rp 10 miliar,” ujarnya.

Menurut Farid, karena status Unsoed sebagai PTN BLU, semua kebijakan, termasuk besaran UKT dan IPI, harus melalui persetujuan Kementerian Pendidikan. Pihaknya berpatokan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 dan Surat Keputusan Mendikbudristek 54 Tahun 2024. Penentuan UKT dan IPI mengacu pada biaya kuliah tunggal (BKT). BKT merupakan perkiraan jumlah dana yang dibutuhkan oleh seorang mahasiswa untuk dapat menempuh pendidikan dalam satu semester (BKT semester) atau dalam satu tahun (BKT tahunan).

"Besaran IPI itu maksimal delapan kali BKT per semester atau empat kali BKT tahunan," jelasnya.

Farid menjelaskan IPI saat ini bersifat wajib dengan nilai nominal yang sudah ditentukan. Padahal periode sebelumnya besaran IPI dapat diisi secara sukarela oleh pihak calon mahasiswa.


Terkait penentuan golongan UKT tiap mahasiswa, Farid menegaskan pihaknya tidak dapat melakukan survei secara langsung ke kediaman mahasiswa karena anggaran yang ada tidak mencukupi. Untuk itu, pihaknya menentukan golongan UKT berdasarkan berkas dan data yang diisi oleh pihak calon mahasiswa. Namun, menurutnya, di Unsoed, populasi penerima UKT golongan I-IV sebesar 93,6 persen. Sisanya sekitar 6 persen merupakan penerima UKT golongan V dan VI.

"Satu angkatan 8.403. (Jalur) mandiri ya 2.464, sama dengan yang SNBP kan kami itu 30 persen," ucapnya.

Sementara itu, Ketua BEM Universitas Gadjah Mada, Nugroho Prasetyo, mengatakan, pada awal tahun ini hingga Maret, pihaknya sempat berupaya melakukan audiensi dengan rektorat kampusnya untuk memastikan besaran UKT dan uang pangkal atau IPI. Namun sejauh itu pihak Rektorat UGM bergeming dan tak terbuka kepada mahasiswa terkait perubahan UKT dan adanya uang pangkal.

Selama bertahun-tahun UGM tidak menerapkan uang pangkal atau sejenisnya. Namun, semenjak 2023, uang pangkal atau saat ini disebut IPI mulai dikenakan kepada mahasiswa di jalur ujian mandiri dan mendapatkan UKT golongan tertinggi.

"Tanggal 1 April tiba-tiba ada pengumuman di website UGM yang mengatakan ada perubahan nominal UKT. Setidaknya 65 persen jurusan UGM, kurang lebih, itu naik memang dan kenaikannya variatif," ucap Nugroho kepada detikX, Senin, 20 Mei 2024.

Selain perubahan nilai nominal, UGM memangkas, yang sebelumnya terdapat delapan golongan UKT kini hanya terdapat lima golongan. Golongan itu di antaranya golongan subsidi 100 persen, 75 persen, 50 persen, dan 25 persen.

Sayangnya, menurut Nugroho, penentuan golongan UKT sering kurang tepat sasaran. Menurut riset yang dilakukan Forum Advokasi UGM, dari sekitar 10 variabel data yang digunakan sebagai acuan penentuan golongan UKT, ternyata hanya dua variabel yang paling berpengaruh. Dua variabel itu adalah pendapatan orang tua dan jumlah tanggungan.

"Waktu itu kami rekomendasikan agar kemudian perhitungannya lebih clear, lebih bisa merepresentasikan kondisi asli dari mahasiswa tersebut. Kami menilai yang bisa ditambahkan adalah SPT tahunan, PBB, lalu juga daya listrik, daya listrik bulanan, status kepemilikan rumah, lalu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, itu," paparnya.

Menurut survei yang dilakukan Forum Advokasi UGM pada Mei 2023 terhadap 1.066 responden, 57,1 persen menyatakan melakukan peninjauan ulang golongan UKT. Adapun 64,4 persen mengaku kondisi ekonomi dan besaran UKT yang didapat tidak sesuai dan terlalu besar. Selain itu, 69,3 persen responden mengatakan besaran UKT tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan. Bahkan sebagian besar atau 63,6 persen responden mengaku keberatan dengan besaran UKT yang harus dibayarkan.

Mahasiswa Unnes demo protes kenaikan iuran IPI di Gedung Rektorat Unnes, Semarang, Selasa (7/5/2024).
Foto : Afzal Nur Iman/detikJateng

Salah satu kesimpulan dari riset itu mengatakan penentuan kemampuan ekonomi oleh UGM terlalu sederhana. Akibatnya, UGM belum mampu menilai kemampuan ekonomi calon mahasiswa baru dengan lebih komprehensif. Selain itu, rasio pengorbanan dalam sistem UKT baru terlalu tinggi.

Ada beberapa prodi yang rasio pengorbanannya lebih dari 60 persen. Artinya, ada orang tua/wali mahasiswa yang harus menyisihkan lebih dari 60 persen pendapatan bulanannya agar anaknya dapat kuliah di UGM. Berkaca dari hal-hal di atas, UGM dirasa gagal mewujudkan keadilan bagi mahasiswanya. Jati diri kerakyatan yang dibanggakan oleh UGM disebut patut dipertanyakan.

Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan UGM Supriyadi mengatakan semua jurusan di UGM mengalami defisit. UKT hanya menutup sekitar 40 persen dari total kebutuhan anggaran UGM. Menurutnya, tiap tahun biaya pendidikan mengalami peningkatan.

"UGM pun sebenarnya juga sudah melakukan perjuangan atau sudah melakukan berbagai macam kegiatan usaha, sudah melakukan pengelolaan dana, sudah melakukan efisiensi," kata Supriyadi kepada detikX.

"Walaupun kami punya aset, ada beberapa gedung disewakan, tapi kan tidak mudah menyewakan pun, tidak selalu ada orang yang mau menyewa," tambahnya.

Supriyadi mengatakan pihaknya tetap menyediakan 26 persen kuota mahasiswa untuk UKT golongan I, II, dan penerima beasiswa KIP (dahulu bernama Bidik Misi). Adapun jumlah penerima UKT tertinggi hanya sekitar 15 persen. Adapun untuk kuota jalur mandiri yang berkewajiban membayar IPI dipatok sekitar 30 persen dari total mahasiswa baru.

"Kalau dia masuk UKT subsidi 100 persen, tidak membayar iuran pengembangan institusi. Nol juga, sama dengan UKT-nya. Nah, itu yang berlaku di social sains besarnya sama, semuanya Rp 20 juta, nah yang di sains, yang di teknik, MIPA, dan seluruhnya itu Rp 30 juta, kecuali di Fakultas Kedokteran," paparnya.

"Jadi, kalau mahasiswa diterima melalui jalur mandiri, kemudian dapat UKT penuh, kalau belum bisa membayar, nanti dia diberi kesempatan membayar dua kali, nah itu ada aturannya kemudian (contoh) kalau dia berada di UKT dengan subsidi 25 persen, maka dikenai iuran pengembangan institusi Rp 20 juta x 75 persen, jadi Rp 17 juta," tambah Supriyadi.

Mendikbudristek Nadiem Makarim berjanji Kemendikbudristek akan mengevaluasi kenaikan UKT di perguruan tinggi. Nadiem mengatakan pihaknya akan menghentikan lompatan kenaikan UKT yang tidak masuk akal.

"Saya berkomitmen, serta Kemendikbudristek memastikan, harus ada rekomendasi dari kami untuk pastikan lompatan-lompatan yang tidak masuk akal dan tidak rasional itu akan kami berhentikan. Jadi kami akan memastikan bahwa kenaikan yang tidak wajar akan kami cek, evaluasi," kata Nadiem di rapat kerja Komisi X DPR RI di gedung DPR RI, Selasa, 21 Mei 2024.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

Baca Juga+

SHARE