SPOTLIGHT

Siapa Mengawasi Produksi Obat TNI?

Pelibatan TNI dalam program Apotek Merah Putih menimbulkan kekhawatiran akan sulitnya proses pengawasan obat-obatan yang diproduksi TNI.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 12 Agustus 2025

Kedatangan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ke kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Mei lalu membuat beberapa pegawai BPOM sedikit bingung. Sebab, Sjafrie tiba-tiba saja meminta BPOM melatih TNI menjadi distributor dan produsen obat untuk masyarakat. Permintaan itu, kata sumber detikX, sempat ditolak lantaran pelatihan tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang.

“BPOM sudah bilang ‘nggak bisa, harus orangnya juga mengetahui cara distribusi obat’. Lalu Safri bilang, ‘ya nanti diajarkan saja TNI',” kata sumber yang mengetahui isi pertemuan itu kepada detikX.

Pertemuan Sjafrie dengan Kepala BPOM Taruna Ikrar pada 20 Mei itu membahas beberapa hal. Di antaranya soal rencana pembangunan Pabrik Obat Pertahanan dan peluncuran program Apotek Merah Putih. Kemenhan mendapat restu dari Presiden Prabowo Subianto untuk membantu produksi dan distribusi obat ke apotek-apotek yang nantinya akan berada di bawah Koperasi Merah Putih tersebut.

Obat-obatan untuk apotek tersebut akan diproduksi di Pabrik Obat Pertahanan dengan memanfaatkan laboratorium farmasi yang kini sudah ada di tiga matra TNI, yakni Lafiad (Angkatan Darat), Lafial (Angkatan Laut), dan Lafiau (Angkatan Udara). Ketiga laboratorium ini sebelumnya sudah memproduksi obat-obatan untuk tentara. Namun, dengan rencana pembentukan Pabrik Obat Pertahanan, kini ketiganya juga diproyeksikan untuk memproduksi obat untuk masyarakat sipil.

BPOM bakal berperan sebagai pengawas sekaligus tim yang melatih TNI untuk memproduksi dan mendistribusikan obat. Dalam pelatihannya nanti, BPOM bakal bekerja sama dengan Universitas Pertahanan.

Kerja sama tersebut kadung disepakati Sjafrie dan Ikrar meski beberapa pegawai BPOM masih ragu lantaran prosesnya dianggap terlalu terburu-buru. Sumber detikX bilang, sebagian karyawan BPOM khawatir pengawasan peredaran obat yang diproduksi TNI tidak bisa maksimal.

Belum lagi, sumber ini bilang, para apoteker yang bekerja di Apotek Merah Putih juga nantinya akan berasal dari kalangan tentara, selevel Babinsa di tingkat desa. Ada kekhawatiran di kalangan internal BPOM bahwa para TNI yang dipekerjakan sebagai apoteker nantinya belum memahami manfaat dan jenis obat-obatan yang tersedia di Apotek Merah Putih. Apalagi proses belajar terkait obat-obatan tidaklah singkat.

Kepala BPOM Taruna Ikrar, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menandatangani MoU terkait produksi obat oleh TNI serta pengamanan obat-obatan ilegal di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025).
Foto : DetikHealth/Averus Al Kautsar

Menurut Ketua Kluster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Iqbal Mochtar, melatih seseorang untuk paham terkait obat-obatan membutuhkan waktu paling tidak 4-5 tahun, sebagaimana seseorang yang berkuliah di jurusan farmasi.

“Apalagi kalau kita berbicara tentang produksi obat-obatan, ini tentu saja membutuhkan pengetahuan yang sangat njelimet, dan harus sangat profesional,” kata Iqbal kepada detikX.

Kepala Biro Informasi Pertahanan Sekretariat Jenderal Kemenhan Brigjen Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang memahami soal kekhawatiran tersebut. Namun Frega memastikan produksi dan distribusi obat-obatan dari TNI akan dilakukan sesuai aturan.

Untuk itu, lanjut Frega, Kemenhan menjalin kerja sama dengan BPOM untuk bisa menjamin kualitas obat-obatan yang diproduksi TNI nantinya sudah sesuai standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Selain itu, Frega juga menjamin semua obat yang diproduksi TNI untuk Apotek Merah Putih akan memiliki nomor izin edar (NIE).

Sejauh ini, sambung Frega, TNI sudah berhasil memproduksi 91 jenis obat. Dari Lafiad 14 obat, Lafial 44 obat, dan Lafiau 33 jenis obat. Meski begitu, belum semua obat produksi TNI ini memiliki izin edar.

“Makanya kita ada kerja sama dengan BPOM. Itu salah satunya (tujuannya) adalah bagaimana kita mengikuti prosedur yang ada sehingga nomor izin edar itu bisa juga keluar karena konsumsi obat nantinya yang tadinya hanya untuk prajurit, tapi juga untuk masyarakat,” ungkap Frega melalui konferensi daring dengan detikX.

BPOM nantinya tidak akan melatih TNI dari nol untuk menjadi seorang produsen maupun distributor obat. Sebab, kata Frega, orang-orang yang akan dilatih BPOM nantinya bakal berasal dari lulusan farmasi militer dari Unhan.


Sementara itu, orang-orang yang akan menjadi apoteker nantinya kemungkinan besar bukan berasal dari TNI. Dalam hal ini, TNI akan menyiapkan sumber dayanya ketika Kementerian Kesehatan sebagai pemimpin program Apotek Merah Putih membutuhkan bantuan, misalnya sebagai apoteker di daerah-daerah rawan konflik.

“Jangan disalahartikan bahwa dengan ada pelibatan (TNI) ini, kita mau mengambil alih semuanya. Tidak,” ungkap Frega.

Kepala BPOM Ikrar Taruna menambahkan setiap apoteker untuk Apotek Merah Putih harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/737/2025. Setiap apoteker harus memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA), surat izin praktik apoteker (SIPA), serta wajib menjalankan Standar Pelayanan Kefarmasian dan Pengelolaan Obat.

“Apoteker penanggung jawab Apotek Desa dapat berasal dari dinas kesehatan dan/atau puskesmas setempat,” tulis Ikrar melalui pesan singkat.

BPOM, sambung Ikrar, juga akan memastikan kepatuhan TNI terhadap standar cara distribusi obat yang baik (CDOB) dalam hal distribusi. Tujuannya, untuk mempertahankan mutu dan integritas obat selama proses distribusi.

Para personel TNI yang bertugas sebagai produsen maupun distributor nantinya harus memenuhi aspek-aspek CDOB yang tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2025. Beleid ini mengatur sebelas aspek pelatihan CDOB yang harus dilalui semua distributor obat, tidak terkecuali personel TNI. Dua di antaranya adalah aspek manajemen mutu dan ketentuan khusus bahan obat.

Rapat rencana mekanisme pendistribusian obat-obatan yang di produksi  oleh Lembaga Farmasi (Lafi) TNI untuk mendukung gerai Apotek Koperasi Desa Merah Putih di Kementerian Pertahanan, Rabu (14/05/2025).
Foto : Dok. Kemenhan

Di samping itu, BPOM juga akan terus mengawasi semua proses produksi dan distribusi obat TNI dari hulu hingga hilir. Ikrar mengatakan pengawasan akan dilakukan mulai dari proses produksi, distribusi, hingga obat dikonsumsi pasien.

“Sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk melakukan pengawasan komprehensif sepanjang rantai pasok mulai dari sebelum beredar hingga saat produk berada di pasaran, BPOM tetap akan menjalankan peran pengawasan secara profesional dan bekerja sama dengan lembaga farmasi milik TNI untuk mendukung penyediaan produk sesuai standar,” ungkap Ikrar.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE