Praktik 'kawin tangkap' di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikritik Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Dia menganggap 'kawin tangkap' salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Antropolog dari Universitas Widya Mandiri (Unwira) Pater Gregorius Neonbasu SVD mengimbau pihak gereja di Sumba, baik gereja Katolik dan Protestan untuk membuka dialog budaya dengan pihak Marapu, dalam hal ini para rato sebagai sesepuh masyarakat setempat untuk membahas praktik 'kawin tangkap' ini.
"Untuk masalah ini hemat saya gereja Katolik dan Protestan harus duduk bersama dengan para rato atau sesepuh adat di daerah itu untuk berdialog bersama terkait hal kawin tangkap itu," kata Gregorius seperti dilansir Antara, Senin (29/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, strategi paling manusiawi dan berbudaya adalah membangun sebuah cara pandang pelayanan terpadu antar berbagai institusi, baik itu gereja, pemerintah, dan masyarakat. Rohaniwan Katolik itu melanjutkan, menjaring cara pandang itu diawali dengan menyamakan persepsi serta menghindari sikap serta perasaan superioritas dan perilaku mau menang sendiri serta saling mendengar dengan sikap tulus ikhlas.
Dia menceritakan pernah berdiskusi dengan para rato dari Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, serta dengan Pastor Robert Ramone CSsR yang juga budayawan dan pakar di Sumba, yang kini menghuni dan merawat rumah budaya Sumba di Tambolaka.
"Pada tahun 2015-2016 itu saya mendapatkan banyak keluhan yang sangat signifikan dari para rato bahwa tradisi, adat dan budaya tata krama kehidupan manusia dan masyarakat Sumba kini sepertinya terobrak-abrik," ujar Gregorius.
Hal ini berakibat pada selalu muncul seribu satu persoalan hidup bersama, antara lain munculnya kawin tangkap yang mana di setiap kabupaten di Sumba itu mempunyai sebutan yang berbeda-beda.
Gregorius menilai baik pemerintah, maupun gereja yang mewakili institusi agama, dan juga agama dan kepercayaan lain, hendaknya dengan rendah hati menjaring kerja sama dengan para rato. Dia berharap jejaring sosial dan kerja sama yang dialogis ini bisa menemukan akar persoalan sampai terjadinya kawin tangkap yang masih terjadi di beberapa wilayah di pulau Sumba itu.
"Selama ini menurut saya, belum ada usaha yang serius untuk mencari akar persoalan, dan terlebih seberapa jauh sesepuh masyarakat Sumba mencari jalan yang konsisten untuk mengatasi persoalan tersebut," tutur dia.
Namun dia meyakini, kini manusia dan masyarakat Sumba sedang berupaya untuk mencari cara dan pola yang baik guna sesegera mungkin menangani sampai tuntas praktik kawin tangkap itu. Dia menambahkan, dinamika pembangunan Sumba juga harus melibatkan para rato, tokoh-tokoh agama dan sesepuh masyarakat lainnya, dalam rangka menanggapi berbagai persoalan yang ada di seluruh kawasan Pulau Sumba.
Menurut dia, skema kerja sama yang harus diterapkan adalah menjaring sebuah pendekatan kultural yang dimaksudkan adalah pihak gereja harus memulai 'dialog yang dialogis' serta membuka pintu budaya untuk menjaring relasi dengan para rato. Dia berharap dialog soal praktik kawin tangkap itu menggunakan berbagai aturan yang bernuansa 'kultur Sumba' untuk mengkaji serta menangkal melencengnya praktik kawin tangkap itu sendiri.
"Ada istilah dalam Bahasa Latin sebagai berikut: UBI SOCIETAS, IBI IUS yang berarti di mana ada masyarakat, di sana ada aturan. Masyarakat Sumba memiliki sedemikian banyak aturan sebagai panduan dan pedoman bagi manusia dan masyarakat yang mendiami Pulau tersebut," tutur dia.
Sebelumnya, video yang menunjukkan seorang perempuan menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), beredar di media sosial sejak sepekan lalu. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyoroti praktik itu.
Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang 'diculik' oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
Sebelumnya, video yang menunjukkan seorang perempuan menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), beredar di media sosial sejak sepekan lalu. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyoroti praktik itu.
Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang 'diculik' oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.