Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian angkat suara terkait kasus kecaman terhadap diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ramai menjadi perbincangan. Donny memastikan ancaman itu bukan tindakan resmi dari pemerintah.
Hal ini disampaikan Donny dalam diskusi daring dalam Forum Salemba UI yang bertajuk 'SOS: Teror dalam Ruang Demokrasi' pada Rabu (3/6/2020). Menurut Donny, tindakan kecaman dan pembubaran diskusi yang terjadi di UGM dilakukan oleh sub-sub kekuasaan partikelir yang ingin melakukan mobilisasi politik.
"Saya kalau bisa dikatakan yakin, yakin bahwa itu bukan ulah kekuasaan resmi. Itu ulah sub-sub kekuasaan yang partikelir yang berupaya untuk mengambil hati, memegang kekuasaan demi reputasi dan mobilisasi politik. Jadi kalau kemudian disimpulkan pemerintah Jokowi itu membelenggu, membatasi kekuasaan hanya dengan indikator ada teror itu saya kira terlalu jauh," kata Donny dalam diskusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Donny juga meminta agar persoalan kasus tersebut segera diusut sehingga jelas siapa pelaku teror dalam kejadian itu. Siapa pun pelakunya, ia mengatakan perlu ada pengusutan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
"Saya di beberapa kesempatan mengatakan bahwa pemerintah meminta agar diusut saja sehingga terang benderang siapa yang meneror, apa motivasinya dan kemudian bisa diproses lebih lanjut. Kalaupun yang meneror itu ada di kekuasaan atau bagian dari aparatur resmi negara, usut saja sehingga kita bisa memastikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan abuse of power. Power yang harusnya untuk kemaslahatan orang banyak digunakan untuk kekuasaan semata," tutur Donny.
Donny juga mengungkapkan pemerintahan di era Jokowi tidak pernah menggunakan kekuasaan untuk menghentikan kebebasan berekspresi di Tanah Air. Menurutnya, kasus diskusi di UGM juga bukanlah indikator suatu bangsa yang represif.
"Saya kok tidak melihat bahwa pemerintahan Jokowi di periode pertama dan kedua ini menggunakan kekuasaan secara excessive untuk mematikan kebebasan ekspresi. Diskusi semacam yang di UGM itu saya kira bukan cuman satu-satunya, banyak sekali. Belum lagi yang ada di media sosial. Tapi toh tidak ada satu pun tindakan yang apa namanya... mematikan atau membelenggu atau melumpuhkan kebebasan berekspresi. Jadi kok saya tidak melihat bahwa ini indikator represif pemerintah terhadap demokrasi," tutur Donny.
Simak video 'Beda Din Syamsuddin dan Ade Armando Soal Diskusi Pemakzulan Jokowi':
Selain itu, Donny yakin pemerintahan Jokowi tidak menggunakan kekuasaan untuk melumpuhkan demokrasi di Indonesia. Menurut Donny, pemerintahan di era reformasi memiliki banyak pengawas yang memantau kinerja suatu pemimpin. Selain itu, saat ini informasi sangat terbuka sehingga masyarakat akan segera sadar apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah.
"Saya percaya bahwa pemerintah tidak melakukan cara-cara hitam dan putih juga gitu ya, artinya tidak menggunakan kekuasaan gelap dan terang melumpuhkan demokrasi. Karena apa? Kita tahu pemerintah setelah reformasi tidak ada yang kuat," ujar Donny.
"Pertama, pengawasnya banyak, baik itu pengawas formal ya di parlemen, partai partai politik, maupun yang ada di civil society yang jumlahnya sekarang berkecambah. Apalagi informasi sangat terbuka sekarang, setiap penyalahgunaan kekuasaan pasti akan terbuka secara terang benderang, belum lagi media akan terus menggunakan jurnalisme investigasinya untuk membuka borok penguasa," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, telah terjadi pembatalan diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bertajuk 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Pembatalan diskusi itu terjadi karena pembicara hingga moderator diskusi mendapat ancaman dari sejumlah orang.
Dekan FH UGM Prof Sigit Riyanto membenarkan hal tersebut. Dia mengatakan kegiatan itu murni digelar oleh mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Constitutional Law Society (CLS). Diskusi yang seharusnya dilaksanakan pada 29 Mei 2020 pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB batal terselenggara.
"Demi alasan keamanan, pada siang hari tanggal 29 Mei 2020 siang, mahasiswa penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan kegiatan diskusi tersebut," kata Sigit dalam keterangannya, Sabtu (30/5)