Tim advokasi Novel Baswedan, Yati Andriyani, menilai pendampingan hukum dari Polri kepada dua penyerang Novel dinilai terlalu vulgar. Pasalnya, pemberian bantuan hukum tidak semestinya diberikan kepada mereka yang telah mencoreng institusi polisi.
"Ini yang juga buat kami merasa ini di luar batas soal Polri memberikan bantuan hukum kepada terdakwa dengan didampingi kuasa hukum dari Mabes Polri. Ini pertanyaan yang luar biasa dan keanehan yang luar biasa, mengapa anggota Polri yang melakukan tindak pidana yang jelas mencoreng nama institusi dan tidak sedang bekerja dalam kapasitas untuk menjalankan kewajibannya, justru mendapatkan dukungan penuh dalam persidangan dengan diberi kuasa dari tim Polri? Saya rasa ini terlalu vulgar," kata Yati dalam siaran langsung dari akun Facebook resmi Sahabat ICW, Senin (18/5/2020).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini menyebut Polri seharusnya tidak menggunakan diskresi hukum untuk melindungi kepentingan institusi. Meskipun, kata Yati, Polri memang berhak memberikan bantuan hukum namun dengan catatan untuk kepentingan tugas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Janganlah penegak hukum menggunakan otoritas diskresi hukum yang dimiliki hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan institusi. Sudah jelas orang yang melakukan tindak pidana kejahatan, kenapa Polri harus membela mereka dengan memberikan tim kuasa? Okelah misalkan ada memang aturan yang menyebutkan tentang pemberian bantuan hukum kepada anggota polisi, tapi kan dia harus dalam konteks sedang melakukan kepentingan tugas," ujar Yati.
Yati lantas menyinggung kepentingan tugas yang bisa dijadikan alasan Polri untuk memberikan pendampingan hukum. Namun, kata Yati, hal ini justru memunculkan dugaan terkait operasi di bawah naungan kepolisian.
"Nah saat ini kepentingan tugas apa yang dilakukan dua terdakwa? Atau jangan-jangan dua terdakwa ini memang sedang melakukan operasi tugas di bawah kepolisian. Ini pertanyaan kita atau jangan-jangan emang operasi di bawah kepolisian sehingga akhirnya dua tersangka ini mendapatkan bantuan hukum dari kepolisian, sehingga begitu afirmatifnya kepada terdakwa dengan memberikan pembelaan," ungkap Yati.
"Kalau mau mengikuti aturan mereka pelaku pidana, kalau begitu kenapa Polri tidak memberikan bantuan hukum kepada semua anggota Polri lain yang melakukan tindak pidana? Itu pertanyaan besar kami," sambungnya.
Senada dengan Yati, Tim advokasi Novel lainnya yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, juga menilai pendampingan hukum semestinya hanya diberikan kepada anggota Polri yang sedang menjalankan tugas. Arif kemudian mempertanyakan apakah aksi menyerang Novel merupakan bentuk dari menjalankan tugas.
"Apakah menyerang seorang aparat penegak hukum penyidik KPK itu adalah bagian dari tugasnya? Ya jelas tidak," kata Arief.
Dalam menjawab hal tersebut, kata Arief, Polri harus merujuk pada Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 2 tahun 2017. Dalam aturan tersebut, ada dua pengajuan hukum yang bisa diajukan pribadi atau oleh satuan tugas.
"Pertanyaan yang tadi disebutkan ini mesti harus dijawab dan dari sisi teknis. Dari sisi teknis ada Perkap nomor 2 Tahun 2017 yang yang diterbitkan oleh Polri sendiri bahwa untuk mengajukan bantuan hukum ini bisa dua ya. Pertama adalah itu diajukan oleh satuan tugasnya atau atasan dari terdakwa ini. Yang kedua, dari mereka pribadi. Kalau ini ternyata nanti kalau dicek yaitu dari bukan dari pribadi, tapi dari satuan tugas ya ini juga akan menjadi pertanyaan besar untuk institusi kepolisian itu," ujarnya.
Diketahui dua terdakwa penyerang penyidik senior KPK, Novel Baswedan, mendapat pendampingan hukum dari Polri. Polri menyebut pendampingan hukum kepada dua terdakwa adalah hal wajar, mengingat keduanya merupakan anggota Polri.
"Pendampingan penasehat hukum Polri terhadap tersangka dalam kasus Novel Baswedan adalah hal yang wajar, guna pemenuhan hak setiap anggota Polri sesuai dengan aturan internal yang ada," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Kamis (14/5).