MUI Jatim minta Pemprov untuk meninjau kembali imbauan beribadah di masjid di tengah pandemi COVID-19 yang menyebabkan kerumunan massa. Pemprov didesak untuk melakukan pemetaan supaya tidak menghalangi orang beribadah.
"Oleh karena itu, dalam upaya pencegahan bahaya COVID-19 yang dikaitkan dengan penyelenggaraan kegiatan di masjid/musala, mestilah dilakukan pemetaan yang jelas," kata Sekretaris MUI Jatim Ainul Yaqin kepada detikcom, Senin (11/5/2020).
Pemetaan yang jelas, kata Ainul, harus dilakukan guna memperjelas tingkat darurat di suatu daerah terkait penyebaran COVID-19. Dalam analisa MUI Jatim, jika kondisi bahaya sudah diatasi dengan mengkarantina orang-orang yang terjangkit wabah COVID-19, maka tidak perlu menghentikan kegiatan di masjid.
"Sehingga jelas pula tingkat kedaruratanya bila ditinjau dari sudut pandang syariat. Analisis sederhananya, jika kondisi bahaya itu sudah bisa diatasi dengan mengkarantina orang-orang tertentu, maka tidak perlu menghentikan semua kegiatan di masjid," jelasnya.
Ainul menilai justru di banyak tempat masih banyak orang yang berlalu lalang hingga menimbulkan keramaian dan tidak bisa dikendalikan.
"Penetapan kedaruratan karena bahaya, kendati bisa bersifat prediksi seperti penjelasan Syeikh Ahmad Dardir terdahulu, apa lagi hubungannya dengan menghentikan kegiatan di masjid (termasuk juga musala) haruslah dilakukan dengan cermat," tegasnya.
Ainul mencontohkan beberapa waktu lalu dirinya mendapat pengalaman kurang mengenakkan saat ada pelaksanaan Tarawih di Masjid Ar-Rahmat, Kedungrukem, Gresik. Tiba-tiba ada polisi datang saat jemaah sedang salat Tarawih.
"Mereka ngomong mencari PDP yang lari masuk ke dalam masjid. Itu kan gak masuk akal, masak kita sudah terapkan protokol COVID-19 masih dicari. Padahal di Desa Kedungrukem tidak diterapkan PSBB, bahkan warga yang salat juga didata warga sekitar saja," kata Ainul.
"Karena sudah ada protokol COVID-19, desa juga tidak diterapkan PSBB, maka ya alasan itu yang membuat pihak masjid dan warga sekitar sepakat untuk mengadakan tarawih. Apalagi kalaupun PSBB bukan larangan, tapi batasan," lanjutnya.
Ainul yang juga kebetulan warga Desa Kedungrukem menyampaikan, sebaiknya aparat bertindak proporsional sehingga tidak kontra produktif. Masyarakat jadi tambah takut bila aparat bertindak seperti demikian.
"Masalah ibadah ini kan soal keyakinan yang sangat mendasar yang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun sesuai undang-undang. Jadi mesti harus bijaksana," ujarnya.
"Mengingat bahwa beribadah di masjid merupakan bagian dari hak dasar yang paling mendasar, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang hati-hati dan proporsional. Kebijakan yang tidak proporsional bisa batal demi hukum karena bisa dianggap melanggar konstitusi," pungkasnya.