Menilik Peluang Sanksi bagi Pasien COVID-19 yang Tidak Jujur

Menilik Peluang Sanksi bagi Pasien COVID-19 yang Tidak Jujur

Pasti Liberti Mappapa - detikNews
Rabu, 29 Apr 2020 18:28 WIB
Petugas medis membawa pasien ke ruang isolasi saat simulasi penanganan pasien virus corona di RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Jumat (6/3/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan dan melatih kesiapan tenaga serta sarana medis dalam menangani, merawat pasien terduga atau terjangkit virus corona di Jawa Barat. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.
Ilustrasi Simulasi Penanganan Pasien Virus Corona (M Agung Rajasa/Antara Foto)
Jakarta -

Kabar duka kembali disampaikan Ikatan Dokter Indonesia pada Selasa (28/4/2020) kemarin. Seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Mohamad Soewandhie, Surabaya, Jawa Timur, meninggal dunia karena terinfeksi virus Corona.

Koordinator Protokol Kesehatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya Febria Rachmanita mengatakan sebelumnya dokter yang berusia 28 tahun itu ikut menangani pasien asal Pemalang, Jawa Tengah. Hanya, pasien tersebut tidak mengaku sudah pernah menjalani tes COVID-19 dengan hasil positif. Akhirnya dokter asal Kalimantan Tengah itu ikut terpapar.

Hampir dua pekan sebelumnya, sebanyak 46 tenaga medis di RS dr Kariadi Semarang dinyatakan positif COVID-19. Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menyebut kejadian tersebut disebabkan adanya pasien yang tidak jujur mengungkapkan riwayat perjalanannya saat berobat. Di sejumlah tempat, beberapa kali terjadi perkara serupa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pakar hukum kesehatan dari Universitas Airlangga Surabaya, Sapta Aprilianto, menyampaikan terkait hubungan pasien dan paramedis diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

"Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban, baik dokter maupun pasien," ujar Sapta Aprilianto pada wartawan, Rabu (15/4/2020).

Dokter punya kewajiban salah satunya memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Namun para dokter sekaligus punya hak menerima informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

ADVERTISEMENT

Paralel dengan itu, pasien dalam mendapatkan penanganan medis juga punya hak yang dilindungi undang-undang. Tapi Undang-Undang Praktik Kedokteran juga menyebutkan pasien juga punya kewajiban untuk menceritakan informasi yang sejujurnya tentang riwayat kesehatannya.

"Jadi hak dan kewajibannya jadi satu tidak bisa dipotong-potong. Ini demi menciptakan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya," ujar Aprilianto, yang juga anggota tim ahli Pusat Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Unair.

Lalu bagaimana jika ternyata ada pasien yang tidak memberi informasi sebenarnya dalam masa pandemi COVID-19 seperti ini? Aprilianto mengatakan Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak mengatur adanya konsekuensi atas ketidakjujuran pasien.

"Ketentuan pidana undang-undang tersebut tidak mengatur secara spesifik jika pasien berbohong sehingga merugikan khalayak umum. Begitu pun pada Undang-Undang Kesehatan. Sementara yang mengatur sanksi kan hanya undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri kesehatan tidak bisa," ujarnya.

Karena Undang-Undang Praktik Kedokteran tak mengatur, Aprilianto berpandangan dibutuhkan terobosan untuk pemberian sanksi bagi para pasien yang tak jujur pada masa pandemi ini agar kejadian serupa tak terus terulang di masa mendatang.

"Pasti akan ada pro dan kontra. Tapi ini buat memberi efek jera biar semua orang berkata apa adanya," ujarnya.

Sejak 31 Maret lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Sekitar dua pekan kemudian, Presiden Jokowi menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

Dalam Keppres Nomor 12 Tahun 2020 itu, bagian mengingat mengambil dasar hukum pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Menurut Aprilianto, undang-undang ini memuat sejumlah ketentuan pidana dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2.

Bunyinya, "Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)."

Kemudian, ayat 2 berbunyi, "Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000."

Sementara pada Pasal 5 Undang-Undang tersebut berbunyi upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat.

Menurut Aprilianto, pasal ketentuan pidana itu memang tidak menyebutkan secara spesifik kondisi jika pasien berbohong. "Tapi bisa ditafsirkan Orang yang tidak jujur bisa dikategorikan menghalang-halangi penanggulangan wabah. Sekarang kan dokter dan paramedis perlu kejujuran agar wabah tidak meluas. Sekali lagi penafsiran ini pasti menimbulkan pro dan kontra," ujarnya.

"Dalam hal ini secara formil tetap harus ada laporan pada kepolisian baik dari individu korban atau organisasi."

Halaman 2 dari 3
(pal/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads