Tradisi Dugderan menyambut bulan Ramadhan di Kota Semarang bakal tetap digelar di tengah pandemi virus Corona atau COVID-19. Namun tidak ada kemeriahan dan hanya dikemas sederhana untuk menjaga tradisi yang sudah berlangsung 138 tahun berturut itu.
Setiap tahunnya, Dugderan digelar dengan rangkaian pawai dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang di Kauman. Pawai diawali penabuhan beduk di Balai Kota oleh Wali Kota yang berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat.
Pawai biasanya diikuti berbagai komunitas dan membawa patung khas Kota Semarang, yaitu Warak Ngendhog. Warak merupakan hewan fantasi yang menyimbolkan kerukunan etnis di ibu kota Jawa Tengah itu. Hal tersebut terlihat dari kepala naga yang menyimbolkan etnis Tionghoa, badan unta menyimbolkan Arab, dan kaki kambing menyimbolkan Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian prosesi inti dari Dugderan adalah penyerahan Suhuf Halaqoh dari alim ulama Masjid Kauman kepada Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat. Suhuf Halaqof itu dibacakan, kemudian dilakukan pemukulan beduk disertai suara petasan meriam. Dua suara itulah yang menjadi cikal bakal nama acara Dugderan, yaitu 'dug, dug, dug,' suara beduk dan 'der, der, der,' suara meriam.
Tradisi tersebut merupakan pengumuman kepada warga Semarang sudah memasuki bulan Ramadhan. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan prosesi inti di Masjid Kauman akan tetap berjalan, tapi tidak melibatkan masyarakat.
"Pandangan saya dan insyaallah jadi keputusan kami nanti akan cukup saya dan Bu Wakil (Wakil Wali Kota). Proses Dugderan ini datang ke Masjid Kauman, diterima satu atau dua kiai atau takmir masjid tersebut, kemudian takmir akan woro-woro atau menyampaikan kepada masyarakat lewat Toa Masjid," kata pria yang akrab disapa Hendi itu di kantornya, Kamis (16/4/2020).
Pria yang Pukul Perawat Gegara Enggan Pakai Masker Dibekuk!: