Hal ini dikatakan oleh juru bicara Tim Satgas Corona RS Unair Surabaya dr Alfian Nur Rasyid SpP. Kelemahan rapid test itu adalah jika dilakukan tidak tepat.
"Tes rapid COVID itu juga ada kelemahan bila tidak tepat guna," kata Alfian saat dihubungi detikcom, Rabu (1/4/2020).
Alfian menjelaskan, jika virus SARS-Cov2 yang masuk tubuh, tubuh akan menghasilkan imunoglobulin (protein yang disekresikan produk dari sel plasma yang mengikat antigen dan sebagai efektor sistem imun humoral) dalam waktu 7 hari kemudian.
"Rapid test itu untuk mengetahui adanya imunoglobulin tersebut, sehingga pemeriksaan rapid pada durasi kurang dari tujuh hari sejak virus menginfeksi dapat menghasilkan tes yang negatif. Ini disebut hasil negatif palsu," jelasnya.
Sebenarnya, lanjut dia, kemungkinan terdapat virus tapi tidak terdeteksi oleh rapid test karena imunoglobulin belum terbentuk.
"Berbeda dengan swab tenggorokan dengan polymerase chain reaction (PCR) yang akan positif sejak awal pertama virus masuk tubuh," ujarnya.
Sementara itu, tenaga medis di rumah sakit juga disarankan melakukan rapid test. Terlebih jika tenaga kesehatan memiliki keluhan setelah menangani pasien terjangkit virus Corona.
"Bila tenaga kesehatan d RSUA (RS Unair) ada keluhan setelah merawat pasien, diperiksakan rapid atau swab," katanya.
Menurutnya, rapid test massal yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia belum tentu efektif. Sebab, jumlah rapid test COVID saat ini terbatas di Tanah Air.
"Masih belum (efektif). Jumlah rapid test masih terbatas. Prioritas untuk tenaga kesehatan yang di garda depan," pungkasnya.
Jokowi Harap Corona Tak Membeludak agar RS Darurat Tak Dipakai:
(fat/fat)