Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengeluarkan kebijakan darurat sipil untuk dipadukan dengan pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran Corona di Indonesia. Rencana penetapan darurat sipil ini menimbulkan penolakan. Bagaimana dengan Anda?
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi, sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19, disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Darurat sipil diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan darurat sipil punya konsekuensi ngeri bila ditetapkan, yakni penguasa darurat sipil berhak mengadakan peraturan untuk membatasi penerbitan apapun. Penguasa darurat sipil bisa menyuruh aparat untuk menggeledah tempat secara paksa. Penguasa darurat sipil berhak menyita barang yang diduga mengganggu keamanan, hingga memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai. Serta, penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
Penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita dan percakapan telepon, melarang pemakaian kode hingga bahasa selain bahasa Indonesia, membatasi penggunaan alat telekomunikasi, dan menghancurkan alat telekomunikasi. Penguasa darurat sipil pusat adalah presiden, sedangkan penguasa darurat sipil di daerah adalah para kepala daerah. Namun darurat sipil tak akan langsung dieksekusi.
"Penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19," kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, dalam keterangan tertulis.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak rencana darurat sipil. Menurut mereka, harusnya Presiden Jokowi membuat payung hukum yang mengatur kebijakan pembatasan sosial atau social distancing berupa Keppres.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menolak. Menurut komisioner Choirul Anam, seharusnya Jokowi menetapkan darurat kesehatan nasional, bukan darurat sipil, karena yang dibutuhkan saat ini bukan penertiban sipil melainkan peningkatan layanan kesehatan.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Hermawan Saputra, juga menyuarakan penolakan. Menurutnya, darurat sipil bisa membuat keadaan menjadi lebih berbahaya bagi masyarakat. Kondisi keadaan bahaya yang dirancang di era Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno itu bukan untuk pengendalian wabah penyakit.
Ahli hukum dari UGM Yogyakarta, Oce Madril, heran kenapa Jokowi merujuk ke darurat sipil dengan landasan hukum era Sukarno, padahal Jokowi punya produk hukum yang dia teken sendiri yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Oce menengarai ini karena Karantina Wilayah dalam UU Kekarantinaan Kesehatan mengandung konsekuensi berat bagi pemerintahan saat ini: menanggung kebutuhan dasar dan ternak warga terdampak. Bila darurat sipil yang diterapkan, masyarakat bisa didisiplinkan tanpa perlu ditanggung kebutuhan dasarnya.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo telah menjelaskan, rencana darurat sipil masih dibahas para pakar hukum. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal COVID-19, supaya social distancing/physical distancing lebih efektif. Dalam kondisi ini, masyarakat perlu didisiplinkan.
"Sekali lagi dalam menghadapi hal ini bagaimana kesadaran kolektif, yang diperlukan sekarang adalah disiplin dan disiplin," kata Doni.
Jadi, apakah Anda setuju apabila keadaan darurat sipil ditetapkan Jokowi untuk mengatasi penyebaran COVID-19?
(dnu/fjp)