Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, dan Semarang, Jawa Tengah menolak permohonan kapal pesiar Viking Sun untuk berlabuh. Kapal saat ini sedang berada di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang untuk memuat logistik.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menolak seluruh penumpang dan kru turun di kota Semarang. Padahal rencananya, sejumlah penumpang akan mengunjungi sejumlah destinasi wisata di Kota Semarang dan Candi Borobudur di Magelang.
Dalam suratnya, Hendrar menyatakan penolakan tersebut disebabkan kapal tersebut telah mampir di sejumlah kota yang terjangkit COVID-19. Dalam rencana perjalanan disebutkan kapal yang mulai berlayar dari Amerika Serikat itu sempat mampir di Selandia Baru dan Australia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"... Maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang membutuhkan waktu 2 hari, dan memperhatikan hal-hal tersebut di atas untuk meminimalisir potensi kontaminasi dan segala sumber terinfeksi serta demi melindungi warga Kota Semarang."
Sebelumnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengeluarkan surat penundaan bagi kapal yang rencananya berlabuh di Surabaya pada 6 Maret 2020. "Berdasarkan informasi yang diperoleh, di dalam kapal tersebut terdapat dua orang yang menderita sakit demam, batu, dan pilek," tulis Risma.
Tak hanya kapal pesiar Viking Sun yang pernah ditolak berlabuh di sebuah kota karena kekhawatiran atas wabah virus corona. Sebuah kapal pesiar bernama MS Wasterdam juga ditolak di Thailand, Jepang, Taiwan, dan Filipina pada pertengahan Februari 2020 lalu.
Penolakan ini karena penyebaran COVID-19 pada sebuah kapal pesiar bernama Diamond Princess. Kapal mewah yang dikelola Carnival Corporation ini berangkat 20 Januari silam, dari Yokohama, Jepang. Perjalanan dijadwalkan berlangsung selama 16 hari menuju Hong Kong, Vietnam, dan Taiwan, dan kemudian kembali ke Jepang.
Selama hampir dua minggu para penumpang menikmati kemewahan kapal berbendera Inggris itu. Namun jelang berakhirnya pelayaran semuanya berubah. Hari-hari "horor" bagi para penumpang dimulai menjelang malam pada 3 Februari. Saat suara kapten kapal lewat interkom terdengar di seluruh ruangan kapal.
Sang kapten mengumumkan, seorang penumpang yang diturunkan di Hong Kong sembilan hari sebelumnya positif terjangkit COVID-19. Penumpang ini rupanya pernah berkunjung ke Wuhan, China sebelum menaiki kapal pesiar yang mengangkut lebih dari 3700 orang penumpang dan kru itu.
Perjalanan kembali ke Yokohama pun dipercepat. Pada hari kedua, petugas kesehatan mengizinkan penumpang yang tinggal di kabin tanpa jendela untuk keluar kamar mengambil udara segar. Tak sampai hari berikutnya para penumpang diimbau agar menjaga jarak sejauh kurang lebih dua meter dari penumpang lainnya.
Seperti yang dikutip dari The New York Times, Seorang penumpang bernama Tyler Torres yang juga seorang perawat mengatakan tak banyak penumpang menyadari memakai masker. Baru hari kelima, dibagikan masker N95. Mereka juga diwajibkan memakai masker itu saat membuka pintu kabin saat kru kapal membagikan makanan dan peralatan.
Beberapa hari kemudian pemerintah Jepang mengumumkan penumpang yang berusia di atas 80 tahun dan mereka yang tinggal di kabin tanpa jendela karantinanya akan dipindahkan ke darat.
Ketakutan dan kebosanan melanda mereka yang masih berada di atas kapal. Tadashi Chida, penumpang yang berusia 70 tahun mengirimkan surat tulisan tangan pada Menteri Kesehatan.
Tadashi mengeluhkan kru kapal sangat kewalahan. Begitu pula dengan petugas karantina yang dinilainya tidak teliti memperhatikan tiap-tiap penumpang yang punya gejala terinfeksi.
"Kapal ini sudah diluar kendali," ujar pensiunan guru besar dari salah satu universitas di Jepang itu. "Wabah sudah terjadi. Dan kita tak memiliki panduan."
Para pejabat Jepang mengatakan mereka melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan. Dalam situasi yang sangat dinamis, pemerintah Jepang menyatakan berusaha menjaga agar virus tidak menyebar di negara itu.
Pakar epidemiologi atau ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, mengatakan bukan persoalan mudah menangani penyebaran wabah virus seperti corona termasuk dalam penanganan penularan di kapal pesiar.
Syahrizal mengungkapkan pemerintah Amerika Serikat sendiri sudah memberi peringatan pada warganya yang ingin bepergian selama mewabahnya penyakit COVID-19.
"Pemerintah AS sudah memutuskan tidak akan melakukan penjemputan bagi warganya yang berada di kapal pesiar jika ada masalah lagi. Diamond Princess itu jadi yang terakhir," ujar pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.
"Ibaratnya AS sudah marah juga pada warganya, sudah tahu berisiko tapi masih pergi juga. Saat seperti sekarang ini dimana penyebaran virus sedemikian luas, penumpang kapal pesiar sudah mengambil risikonya sendiri-sendiri."
Karena itu menurut Syahrizal keputusan menolak penumpang kapal pesiar itu untuk berlabuh di Indonesia sudah tepat. Terutama jika dalam perjalanannya kapal itu mampir disejumlah negara yang sudah terjangkit.
"Ketika misalnya masuk Australia, pasti ambil penumpang Australia juga. Ini yang jadi masalah. Jadi pemerintah berhak untuk menolak daripada nantinya bikin masalah baru," kata Syahrizal.