"Kami menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kejadian yang menimpa salah satu komisioner. Menurut kami akar masalahnya adalah konsistensi dalam mempertahankan sistem pemilu yang telah kita sepakati dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, proporsional terbuka suara terbanyak," kata Kamrussamad dalam rapat Komisi II bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
"Kalau kita konsisten dengan itu, maka saya yakin dan percaya, kita tidak memiliki penafsiran, kita tidak mengakomodasi yang lahir dari sebuah sengketa di luar mekanisme kepemiluan Bawaslu dan MK," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Kamrussamad, komitmen penyelenggara pemilu sangat penting agar tidak terbuka ruang penafsiran di luar undang-undang. Ia menegaskan dalam sengketa pemilu tidak dikenal pengadilan umum, apalagi fatwa.
"Kita tidak mengenal pengadilan umum dalam sengketa pemilu, apalagi fatwa. Karena itu, saya hargai keputusan pleno KPU yang konsisten berpegang teguh terhadap keputusan pleno KPU sebelumnya dengan menetapkan sistem suara terbanyak sebagai anggota DPR terpilih," ujar Kamrussamad.
Kasus suap ini bermula saat anggota DPR PDIP terpilih, yaitu Nazarudin Kiemas, meninggal dunia pada Maret 2019. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan, bila anggota DPR meninggal dunia, digantikan caleg dari partai politik yang sama yang memperoleh suara terbanyak di bawahnya.
Untuk persoalan ini, caleg PDIP dengan suara terbanyak di bawah Nazarudin adalah Riezky Aprilia. Namun salah satu pengurus DPP PDIP mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) untuk dapat menentukan sendiri secara bebas siapa kadernya yang akan menempati kursi DPR menggantikan Nazarudin.
Penetapan MA itu kemudian menjadi dasar PDIP bersurat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin di DPR. Namun KPU melalui rapat pleno menetapkan Riezky sebagai pengganti Nazarudin. (azr/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini