Donald Trump Jadi Presiden ke-3 yang Dimakzulkan DPR AS

Donald Trump Jadi Presiden ke-3 yang Dimakzulkan DPR AS

Novi Christiastuti - detikNews
Kamis, 19 Des 2019 12:03 WIB
Donald Trump (AP Photo)
Washington DC - Sepanjang sejarah Amerika Serikat (AS), baru ada dua Presiden yang pernah dimakzulkan oleh House of Representatives (HOR) atau DPR AS. Donald Trump menjadi Presiden ke-3 AS yang dimakzulkan DPR AS dalam voting pada Rabu (18/12) malam.

Diketahui belum pernah ada Presiden AS yang dimakzulkan sepenuhnya hingga ke level Senat AS. Namun, seperti dilansir Business Insider, Kamis (19/12/2019), sedikitnya tiga Presiden AS pernah menghadapi proses pemakzulan, dengan hanya dua presiden yang sukses dimakzulkan oleh DPR AS.

Siapa saja?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andrew Johnson

Tahun 1868 silam, Andrew Johnson dari Partai Demokrat menjadi presiden yang aktif menjabat pertama di AS yang menghadapi proses pemakzulan. Johnson dimakzulkan oleh DPR AS atas dakwaan melanggar Undang-undang (UU) Masa Jabatan.

Semuanya berawal saat Johnson memecat Menteri Urusan Perang, Edwin Stanton, dari jabatannya tahun 1867. Pemecatan Stanton itu melanggar UU Masa Jabatan, yang mengatur bahwa Presiden AS tidak bisa memecat setiap pejabat penting pemeritnahan tanpa mendapatkan izin Senat AS.


Awalnya, Johnson menonaktifkan Stanton dan menggantinya dengan pejabat lain. Tapi ketika Kongres AS mencampuri persoalan ini dan menempatkan kembali Stanton dalam jabatannya, Johnson memecatnya pada 21 Februari 1868.

Tiga hari kemudian, atau pada 24 Februari 1868, DPR AS memakzulkan Johnson dalam voting yang menunjukkan 126 suara mendukung dan 47 suara menolak. DPR AS menyatakan Johnson melanggar UU tersebut dan menodai Kongres AS.

Dari Maret hingga Mei 1868, selama 11 pekan, Senat AS menggelar sidang pemakzulan untuk Johnson dan akhirnya memvoting untuk membebaskannya dari dakwaan. Hasil voting menunjukkan 35 suara menyatakan dia bersalah dan 19 suara menyatakan dia tidak bersalah. Perolehan suara yang menyatakan Johnson bersalah tidak memenuhi syarat dua pertiga dari jumlah Senator yang ikut voting, sehingga Johnson terbebas dari pemakzulan.

Bill Clinton

Tahun 1998, Bill Clinton dimakzulkan oleh DPR AS, namun akhirnya dibebaskan dari dakwaan oleh Senat. Kasus yang menjerat Clinton berawal dari tahun 1994 saat dia terlibat berbagai skandal, mulai dari penyelidikan keuangan yang disebut 'Whitewater' hingga tuduhan pelecehan seksual.

Clinton saat itu berargumen dirinya memiliki kekebalan presidensial yang membuatnya tidak bisa diadili untuk kasus-kasus sipil. Namun pada tahun 1997, Mahkamah Agung AS menolak argumennya.

Clinton digugat secara hukum oleh seorang wanita bernama Paula Jones atas tuduhan pelecehan seksual. Saat kasus ini bergulir, kasus pelecehan seksual dengan seorang staf magang Gedung Putih bernama Monica Lewinsky mencuat ke publik. Clinton awalnya bersumpah bahwa dirinya tidak pernah menjalin hubungan dengan Lewinsky. Namun pada Agustus 1998, Clinton akhirnya mengakui punya hubungan spesial dengan Lewinsky.


Rekaman dan transkrip percakapan dari Lewinsky yang bicara soal hubungan asmara dengan Clinton menyebar ke publik pada Oktober 1998. DPR AS lantas memulai proses pemakzulan terhadap Clinton pada bulan yang sama.

Pada Desember 1998, DPR AS mengumumkan tiga dakwaan pemakzulan, yakni berbohong di depan dewan juri pengadilan, memberikan sumpah palsu saat menyangkal hubungan dengan Lewisnky dan menghalangi penegakan hukum. Satu dakwaan lain, yakni penyalahgunaan kekuasaan, diumumkan belakangan.

Dalam voting pada 19 Desember 1998, DPR AS memakzulkan Clinton atas dua dakwaan, yakni sumpah palsu dan menghalangi penegakan hukum.

Meski dimakzulkan DPR AS, Clinton menolak mengundurkan diri. Dia disidang oleh Senat AS dan akhirnya dibebaskan dari dakwaan pada 12 Februari 1999. Mayoritas Senator AS saat itu menyatakan Clinton bersalah, namun jumlah suara itu tidak memenuhi syarat dua pertiga suara yang diperlukan untuk memakzulkan Clinton.

Donald Trump

Pada Rabu (18/12) malam waktu AS, DPR AS meloloskan dua dakwaan pemakzulan -- penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi Kongres AS -- yang dijeratkan terhadap Donald Trump. Hasil voting ini menjadikan Trump sebagai Presiden ke-3 di AS yang pernah dimakzulkan DPR AS.

Dua dakwaan pemakzulan Trump terkait dengan penyelidikan DPR AS terhadap laporan seorang whistleblower soal percakapan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di mana Trump minta bantuan Ukraina untuk menyelidiki mantan Wakil Presiden AS Joe Biden yang berpotensi menjadi penantang utama Trump dalam pilpres 2020.

Dakwaan pertama soal penyalahgunaan kekuasaan, menyatakan Trump 'secara korup' meminta Ukraina untuk menyelidiki rival-rival politiknya. Trump dituduh memanfaatkan bantuan keamanan AS nyaris US$ 400 juta dan potensi pertemuan di Gedung Putih dengan Zelensky untuk mendorong Ukraina mengumumkan secara publik penyelidikan terhadap Biden, juga terhadap teori yang dibantah bahwa Ukraina, bukan Rusia, yang mencampuri pilpres tahun 2016 lalu.


Dakwaan kedua, soal menghalangi Kongres AS, menyatakan Trump telah mengarahkan perlawanan terhadap kemampuan DPR AS untuk melakukan pengawasan hukum. Trump dituduh menentang dan menghalangi upaya DPR AS untuk menyelidiki skandal Ukraina tersebut.

Usai dua dakwaan pemakzulan diloloskan DPR AS, selanjutnya proses akan bergulir ke Senat AS yang akan menggelar sidang dan memutuskan apakah akan memakzulkan Trump sepenuhnya atau tidak. Dibutuhkan sedikitnya dua pertiga suara mayoritas dalam Senat AS untuk memakzulkan Trump.

Jika DPR AS didominasi Partai Demokrat, Senat AS diketahui didominasi Partai Republik yang diperkirakan akan membebaskan Trump dari dakwaan pemakzulan. Waktu digelarnya sidang pemakzulan oleh Senat AS belum diumumkan.

Richard Nixon

Jika Johnson, Clinton dan Trump resmi dimakzulkan DPR AS, Richard Nixon bisa dikatakan nyaris dimakzulkan. Tahun 1974, Nixon dari Partai Republik mulai menghadapi proses pemakzulan. Namun Nixon mengundurkan diri sebelum voting pemakzulan sempat digelar oleh DPR AS.

Kasus yang menjerat Nixon yang sangat dikenal publik, berawal dari penangkapan lima pria yang menyusup ke dalam markas Komisi Nasional Partai Demokrat (DNC) di hotel Watergate di Washington DC pada Juni 1972. Kelima penyusup itu berupaya mengacaukan sistem komputer di markas DNC.

Setahun kemudian atau pada 1973, persidangan kasus yang dijuluki skandal Watergate itu dimulai. Di tengah kasus itu berproses, dua pejabat senior Gedung Putih dan Jaksa Agung AS mengundurkan diri. Seorang penasihat Gedung Putih dipecat.


Nixon yang dicurigai terkait skandal Watergate, menolak untuk menyerahkan rekaman percakapan telepon yang disadap -- yang dikenal sebagai 'Nixon tapes'. Nixon beralasan dirinya memiliki hak eksekutif untuk tidak menyerahkan rekaman itu ke Kongres AS, namun Mahkamah Agung memutuskan Nixon harus menyerahkannya.

Beberapa petinggi Gedung Putih memilih mengundurkan diri daripada mematuhi perintah Nixon untuk memecat jaksa khusus kasus Watergate, Archibald Cox.

Komisi Kehakiman pada DPR AS lantas memulai proses pemakzulan Nixon pada 9 Mei 1974. Tiga dakwaan pemakzulan -- menghalangi penegakan hukum, menyalahgunakan kekuasaan dan menentang Kongres AS -- diumumkan pada Juli 1974 dan diserahkan ke DPR AS untuk divoting.

Sebelum voting pemakzulan digelar DPR AS, Nixon mengundurkan diri pada 8 Agustus 1974. Dia tercatat sebagai satu-satunya Presiden AS yang mengundurkan diri dalam sejarah. Jika dia dimakzulkan DPR AS, Nixon akan disidang oleh Senat AS dan diperkirakan akan dinyatakan bersalah.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads