Upaya Pemerintah Berantas Radikalisme Dinilai Tak Akan Efektif, Kenapa?

Upaya Pemerintah Berantas Radikalisme Dinilai Tak Akan Efektif, Kenapa?

Jabbar Ramdhani - detikNews
Senin, 25 Nov 2019 09:23 WIB
Ilustrasi/Aksi simpatik atas teror bom Thamrin (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)
Jakarta - Pemerintah akan melakukan kontra radikalisasi untuk mencegah masyarakat dari paparan paham radikal. Pemerintah juga membuat empat kriteria orang yang rawan terpapar radikalisme.

Hal tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut diatur langkah-langkah mencegah terorisme.

Pengamat terorisme, Al Chaidar, menilai ada kesalahan mendasar dalam PP tersebut yakni soal penggunaan istilah radikalisme. Dia menilai PP tersebut akan tidak efektif dijalankan karena menurutnya penggunaan istilah radikalisme tidak tepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Sejauh yang saya lihat kriteria terlalu umum dan tidak tepat. Artinya tidak sesuai dengan pembahasan atau definisi dari segi akademis, ilmu pengetahuan. Seharusnya pemerintah membuat definisi yang sangat jelas yang dibuat berbagai bidang ilmu tentang makna radikal," kata Al Chaidar saat dihubungi, Senin (25/11/2019).

Al Chaidar mengatakan definisi radikal sudah ada dalam ranah lmu politik, antropologi, sosiologi ataupun ilmu sejarah. Sementara definisi radikalisme yang dibuat pemerintah membuat definisi tersebut kabur.

Dia mengatakan, secara umum radikal bermakna berpikir secara mengakar pada persoalan-persoalan yang sangat krusial. Karena penggunaan istilah radikalisme yang tidak tepat, menurutnya upaya pemerintah tidak akan efektif.

"PP itu tak tepat sasaran dan harus mengarah pada istilah yang lebih bisa dipahami oleh ilmuwan. Misalnya yang dikhawatirkan itu radikalisme yang tumbuh sekarang intoleransi dan terorisme. Harusnya ada peraturan pemberantasan intoleransi dan terorisme. Saya kira itu kalau pemerintah mau bekerja lebih efektif dan bekerja," ungkapnya.


Menurutnya, istilah intoleransi dan terorisme lebih tepat dipakai dibanding radikalisme. Al Chaidar menilai dua hal tersebut yang sangat dikhawatirkan pemerintah saat ini.



Al Chaidar mengatakan intoleransi dan terorisme terjadi karena dipengaruhi wacana keagamaan atau ideologi yang berlebihan. Dia menyebut hal itu terjadi di semua agama dan penganut ideologi.

"Hal itu disebabkan pemahaman keagamaan yang ekstrem, berlebihan. Dan itu tidak hanya terjadi pada penganut agama Islam tapi juga penganut agama lain bahkan ada juga penganut sekularisme dan kapitalisme, dan liberalisme, dan ateisme. Karena mereka sudah bersifat fanatik, merasa diri paling benar. Sehingga intoleran dan teroris," jelasnya.

Untuk menangani hal tersebut, Al Chaidar mengatakan pemerintah mesti membuat program kontrawacana intoleransi dan terorisme. Dia meminta pemerintah membuat penelitian soal wacana yang diperbincangkan sehingga memicu masyarakat menjadi intoleran dan menjadi teroris.


"Pemerintah harus survei dan pemetaan yang jelas terhadap wacana apa saja yang diperbincangkan orang saat ini seperti mesianisme atau akhir jaman, tentang pasukan dajjal, tentang Imam Mahdi, tentang ramalan-ramalan yang akan terjadi. Itu kan banyak beredar dari ustaz atau pemuka agama lain yang sifatnya konfliktual. Karena hal konfliktual tersebut akhirnya memicu intoleran dan terorisme," kata dia.

"Hal tersebut harus di-counter. Pemerintah punya banyak ilmuwan, profesor yang menguasai tema tersebut. Tema tersebut harus disebar di masyarakat agar dapat pandangan monolistik dari pelaku teroris. Seperti wacana khilafah, baiat, Imam Mahdi, jihad. Harus ada pendisiplinan penafsiran yang harus dilakukan pemerintah," sambungnya.

Sebelumnya diberitakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan diterbitkan. PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatur langkah-langkah mencegah terorisme. Salah satu isinya adalah mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme.


"Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme," demikian bunyi Pasal 22 ayat 1 PP Nomor 77 Tahun 2019 yang dikutip detikcom, Minggu (24/11/2019).

Kriteria orang yang rawan terpapar paham radikal ini ada di dalam Pasal 22 ayat 2. Pemerintah akan mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme dengan melakukan kontra radikalisasi.

Berikut empat kriteria orang yang rentan terpapar radikalisme:
1. memiliki akses terhadap informasi yang bermuatan paham radikal terorisme;
2. memiliki hubungan dengan orang/kelompok orang yang diindikasikan memiliki paham radikal terorisme;
3. memiliki pemahaman kebangsaan yang sempit yang mengarah pada paham radikal terorisme; dan/atau
4. memiliki kerentanan dari aspek ekonomi, psikologi, dan/atau budaya sehingga mudah dipengaruhi oleh paham radikal terorisme.
Halaman 2 dari 2
(jbr/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads