Cegah Paparan Radikalisme, Pemerintah Diminta Gaet Influencer Macam Awkarin

Cegah Paparan Radikalisme, Pemerintah Diminta Gaet Influencer Macam Awkarin

Jabbar Ramdhani - detikNews
Senin, 25 Nov 2019 08:13 WIB
Awkarin (IG/Awkarin)
Jakarta - Pemerintah membuat empat kriteria orang yang rentan terpapar paham radikal. Terhadap orang yang masuk empat kriteria tersebut, pemerintah akan melakukan kontra radikalisasi.

Pengamat terorisme dari Institute Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, meminta ada ukuran dan pengawasan yang ketat terkait rencana tersebut. Dia harap tak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Kita justru akan terbelah jika tak punya ukuran dan kontrol yang jelas, itu yang perlu dikhawatirkan. Karena masyarakat banyak yang tidak tahu ketika kita mengetahui hal itu. Sama seperti penderita AIDS yang dikucilkan, sama seperti bagaimana sikap masyarakat terkait isu komunisme dulu. Itu yang kita takutkan," kata Khairul saat dihubungi, Minggu (24/11/2019) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Kriteria orang yang rawan terpapar paham radikal ini ada di dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Pemerintah akan mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme dengan melakukan kontra radikalisasi.

Sementara empat kriteria orang yang rentan terpapar radikalisme disebutkan dalam Pasal 22 ayat 2:
1. memiliki akses terhadap informasi yang bermuatan paham radikal terorisme;
2. memiliki hubungan dengan orang/kelompok orang yang diindikasikan memiliki paham radikal terorisme;
3. memiliki pemahaman kebangsaan yang sempit yang mengarah pada paham radikal terorisme; dan/atau
4. memiliki kerentanan dari aspek ekonomi, psikologi, dan/atau budaya sehingga mudah dipengaruhi oleh paham radikal terorisme.

Khairul mengatakan pada umumnya, orang yang terpapar radikalisme ialah karena sudah tak punya harapan dan terkucilkan dari kehidupan sosial. Akibat situasi tersebut, orang yang rentan terpapar radikalisme akan mencari ruang yang bisa menampung harapan mereka.


"Pertama poin akses komunikasi. Mereka yang terpapar ini sebetulnya orang yang sudah tak punya harapan, di lingkungan mereka. Itulah yang membuat mereka mencari saluran komunikasi lain, yang walaupun tahu itu hanya menawarkan harapan kosong," ujarnya.



Simak juga video Celah Rawan Laman Aduan ASN Terkait Hoax dan Radikalisme:




Dia meminta pemerintah fokus penanganan radikalisme dari titik hulu yaitu kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesenjangan pendidikan. Dia mengatakan orang yang terpapar paham radikal biasanya karena punya kekecewaan terhadap pelayanan dasar sebagai warga negara.

"Misal, soal BPJS tak terlayani, lalu jadi kekecewaan. Background orang yang terpapar ini kita tahu bukan orang berada. Mereka mengalami hal seperti itu. Kecuali kasus anak muda, yang ada faktor persoalan psikologis yang masih belum stabil sehingga mendorong pada ekstremisme," bebernya.


Untuk menyelesaikan masalah tersebut, menurutnya, perlu ada upaya membangun kesadaran religiositas (kontranarasi) untuk membangun imun atas paham-paham radikal yang disebarkan. Selain itu, menurutnya, perlu dibuka ruang sosial sehingga masyarakat bisa berbagi perasaan terkait ketimpangan harapan dan kenyataan.

"Masjid menyelesaikan persoalan masyarakat itu perlu. Kaya dulu di bogor ada 'ruang curhat' warga. Dan kebetulan yang kita perlu sudah lama yaitu kontranarasi agar mencegah orang mengakses informasi yang mengandung radikalisme. Kalau Kontranarasi kita bagus dan kreatif, ketika melihat narasi radikalisme itu dia tidak akan mengakses," bebernya.

Khairul mengatakan pemerintah tidak dapat bergerak sendirian. Menurutnya, untuk lebih bisa diterima masyarakat, pemerintah bisa saja menggandeng tokoh yang lebih dikenal.

Dia juga mengatakan kontranarasi yang disebarkan kepada masyarakat tidak menggunakan bahasa yang kaku. Khairul menyebut di zaman multimedia ini, pemerintah bisa saja menggandeng influencer muda.


"Kontranarasi tidak lagi bahasa yang jargonistik, bahasa yang terlalu melangit. Kan kita punya banyak tuh testimoni dari pelaku, yang kemudian bisa kita rumuskan. Sehingga bisa meng-counter radikalisme," ucapnya.

"Narasi Awkarin lebih efektif daripada narasi yang dilakukan BNPT. Artinya aparat pemerintah ini masih gagal memahami apa yang dibutuhkan orang-orang agar tidak terpapar," sambung Khairul.

Sebelumnya diberitakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan diterbitkan. PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatur langkah-langkah mencegah terorisme. Salah satu isinya adalah mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme.

"Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme," demikian bunyi Pasal 22 ayat 1 PP Nomor 77 Tahun 2019 yang dikutip detikcom, Minggu (24/11/2019).
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads