Ruwatan dilaksanakan dengan mengumpulkan takir. Yakni wadah persegi yang dibentuk dari daun pisang, dan diisi makanan tradisional lengkap. Mulai nasi gurih, sambal goreng, mie, telur dadar dan irisan mentimun.
Takir ditata berjejer di sepanjang jalan. Hampir semua warga keluar rumah dan duduk di depan deretan takir itu. Kemudian sesepuh kampung membacakan doa, sebelum acara diakhiri dengan makan takir bersama.
"Ini ngruwat desa (merawat). Kami takiran di jalan kampung dan di Danyangan Jati Kurung. Buat tolak balak karena banyak warga kami yang meninggal," kata sesepuh sekaligus Ketua RT 3, Hartono (60) kepada detikcom, Jumat (22/11/2019).
Menurut Hartono, belum sebulan sebanyak 13 warga di Lingkungan Banjarsari meninggal secara berurutan. Bahkan dalam sehari, bisa dua sampai tiga orang meninggal secara bersamaan. Mereka meninggal ada yang karena sakit, kecelakaan, ada juga yang tiba-tiba meninggal tanpa sebab.
Para sesepuh desa menilai, musibah beruntun yang dialami warganya karena mereka melupakan tradisi yang seharusnya tiap tahun digelar. Yakni menggelar tayuban, kesenian tradisional berupa gerakan tarian yang dilakukan penari perempuan dan lelaki yang diiringan gamelan dan tembang.
"Sejak ada perubahan desa menjadi kelurahan, tradisi tayub dihilangkan. Padahal danyangan Jati Kurung sejak dulu menghendaki itu setiap bersih desa bulan Selo. Atau menjelang Mauludan," ungkapnya.
Pendapat para sesepuh desa ini disetujui kalangan muda. Mereka berpendapat, selain menjadi tolak balak, tayuban juga upaya untuk melestarikan kesenian dan tradisi lokal.
"Kami mendukung pendapat para sesepuh. Makanya, ini kami yang muda-muda mau urunan untuk nanggap tayub. Sekaligus melestarikan budaya bangsa," pungkas warga lainnya, Setyo Budi (30). (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini