Sedari mula memang KPK reaktif terhadap revisi UU baru itu. Seturut dengan isi UU itu saat masih berwujud draf, KPK sudah memprediksi adanya 26 poin yang dinilai akan melemahkan pemberantasan korupsi.
"Ada kontradiksi antar-beberapa aturan di UU baru tersebut. Ketika kami lihat penjelasannya, cukup jelas. Selain itu KPK juga telah mengidentifikasi adanya 26 poin yang beresiko melemahkan KPK," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Rabu (6/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, KPK disebut Febri selama ini bekerja dalam kehati-hatian untuk tidak menabrak aturan. Kontradiksi pasal dalam UU baru itu disebut Febri bisa berdampak pada gugatan praperadilan atau upaya hukum lain bila KPK melakukan penyidikan baru.
"KPK tentu saja harus hati-hati dalam memproses perkara korupsi, apalagi ada sejumlah perubahan yang cukup signifikan di UU baru tersebut. Karena itulah KPK terus mengidentifikasi dan analisis secara internal risiko-risiko hukum tersebut. Namun, KPK tetap akan berupaya sekuat tenaga dan pikiran agar pemberantasan korupsi tetap berjalan, meski tak mudah," sebut Febri.
Memangnya apa kontradiksi yang dimaksud?
Dalam UU KPK baru memang disebutkan adanya organ baru dalam KPK yaitu Dewan Pengawas yang bertugas memonitor kegiatan penegakan hukum di KPK. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menentukan siapa saja orang-orang yang akan menjabat dalam organ baru KPK itu. Nantinya Dewan Pengawas akan memberikan izin bagi proses penegakan hukum di KPK termasuk penyadapan dan penyitaan serta penggeledahan.
"Ada Pasal 69D UU KPK yang mengatur sebelum dibentuk Dewan Pengawas maka KPK menggunakan UU lama tapi ada resiko pertentangan di Pasal 70C," kata Febri.
Pasal 69D UU KPK baru itu memberi penjelasan atas kerja KPK bila belum ada Dewan Pengawas. Presiden Jokowi memang menyampaikan pembentukan Dewan Pengawas akan bersamaan dengan pelantikan pimpinan baru KPK pada Desember 2019.
Berikut bunyi Pasal 69D
Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.
Namun pasal itu dianggap KPK bertentangan dengan pasal lain yang masih termaktub dalam UU itu yaitu Pasal 70C. Berikut bunyi pasalnya:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Berpijak pada itu, KPK belum mengusut perkara baru UU baru berlaku. Terhitung tanggal 17 Oktober 2019 sampai saat ini KPK hanya menangani kasus-kasus yang telah diusut sebelum UU baru hasil revisi tersebut.
"Sejak revisi UU KPK berlaku, belum ada penyidikan baru. Belum ada tersangka baru," kata Febri.
Kegiatan KPK yang diketahui terakhir dilakukan sebelum UU baru itu berlaku adalah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin pada 16 Oktober 2019. Setelahnya bukan berarti KPK tidak benar-benar bekerja. Febri mengatakan tim pada Kedeputian Penindakan KPK tetap melakukan kegiatan tetapi pada kasus-kasus yang telah diusut sebelum tanggal 17 Oktober 2019 tersebut.
"Namun, tim KPK di kedeputian penindakan tetap bekerja keras untuk menyelesaikan perkara yang sudah kami tangani sebelum 17 Oktober 2019 tersebut. Berbagai tindakan sudah dilakukan seperti penahanan dan perpanjangan penahanan terhadap sejumlah tersangka, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan saksi-saksi," imbuhnya.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini