"Misalnya pada waktu pelajaran dia makan, kriuk-kriuk-kriuk, gitu kan, kemudian acara di luar sekolah juga dilarang bawa HP, dilarang bawa dokumen dilarang, tapi dia bawa," kata pengacara SMA Gonzaga, Edi Danggur, di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019).
Namun, menurutnya, yang paling mempengaruhi penilaian sekolah untuk tidak menaikkan kelas adalah nilai yang tidak memenuhi syarat. Edi mengatakan anak Yustina mendapat nilai 68 dalam pelajaran sejarah, sementara KKM-nya 75.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Yustina mengakui anaknya pernah ketahuan merokok. Namun, menurutnya, anaknya sudah menerima hukuman atas kejadian itu, ia kembali menanyakan apakah proses keputusan sekolah yang tidak menaikkan kelas anaknya sudah sesuai dengan prosedur di Permendikbud Nomor 35/2015 atau tidak.
"Sudah (diberi sanksi), dan kami sudah terima dan orang tua sudah tanda tangan dan itu di luar sekolah. Jadi sudah selesai itu, yang pasti itu proses pendidikan. Yang kami tanyakan apakah proses BB ini sudah sesuai dengan Permendikbud yang ada proses tentang kenaikan kelas," kata Yustina.
Yustina menggugat Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Paulus Andri Astanto; Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Himawan Santanu; Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Gerardus Hadian Panomokta; dan guru Sosiologi Kelas XI, Agus Dewa Irianto. Selain itu, turut tergugat adalah Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta.
"Menyatakan keputusan para tergugat bahwa anak penggugat tidak berhak melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 SMA Kolese Gonzaga adalah cacat hukum. Menyatakan anak Penggugat memenuhi syarat dan berhak untuk melanjutkan proses belajar ke jenjang kelas 12 di SMA Kolese Gonzaga," demikian isi gugatan tersebut.
Karena merasa dirugikan, Yustina meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 51.683.000 dan ganti rugi imateriil sebesar Rp 500.000.000.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini