Penetapan Reyog Bulkiyo sebagai WBTB setelah melalui
sidang Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Dirjen Kemendikbud RI pada 16 Agustus 2019. Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Blitar mengusulkan Reog Bulkiyo sejak 2018.
"Jadi tahun ini ada dua yang ditetapkan WBTB dari Pemkab Blitar. Yaitu Larung Sesaji Pantai Tambakrejo dan tradisi kesenian Reyog Bulkiyo dari Desa Kemloko," kata Kepala Disparbudpora Pemkab Blitar Suhendro Winarso pada detikcom, Sabtu (2/11/2019).
Dalam buku 'Keberlanjutan Reyog Bulkiyo' diterangkan, kesenian tradisional ini berasal dari Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok. Reyog ini sempat mati suri selama lima tahun. Kemudian bangkit lagi sekitar tahun 2009 dengan inisiator Mbah Supangi.
Berkat upaya itu, Reyog Bulkiyo dapat dinikmati generasi milenial dan menjadi warisan budaya tak benda yang berharga dari masa lalu di Blitar. Sang penulis buku Imam Muhtarom menyebutkan berdasarkan keterangan Supangi, Reyog Bulkiyo mulanya dibawa almarhum Kasan Mustar dan Kasan Ilyas. Keduanya adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang berasal dari Begelen, Jawa Tengah.
Kepindahan mereka ke Desa Kemloko karena kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda pada tahun 1825. Pada masa itu kesenian Reog Bulkiyo merupakan media untuk latihan perang. Namun seiring perkembangan zaman, kesenian tersebut berfungsi sebagai sarana ritual, hiburan dan seni pertunjukan.
Hingga kini, tarian perang dalam Reyog Bulkio masih mengikuti pakem dari asalnya. Kecuali satu, pemainnya 14 orang tidak semua laki-laki. Enam di antaranya wanita. Untuk menyesuaikan perkembangan zaman dan agar penonton tidak bosan.
"Pemainnya yang lelaki sudah sepuh semua. Saya saja umur 53, tergolong paling muda. Karena susah mencari pengganti, ibu-ibu yang pengen gabung akhirnya ikut menari juga. Penontonnya juga biar gak bosan," tutur seorang pemain, Budi Santoso.
Empat belas pemain itu terbagi menjadi tiga bagian. Yakni sembilan penari, empat pemukul alat musik dan dalang. Dalang menceritakan kisah peperangan antara Islam dan kaum kafir.
Gerakan tarian Reyog Bulkiyo sejak dulu memiliki empat jenis. Yaitu lincak gagak, rubuh-rubuh gedang, untir-untir dan perang.
"Semua itu dimainkan sekitar satu jam hingga selesai," jelas pria yang berperan sebagai dalang dalam Reyog Bulkiyo ini.
Pakem pakaian Reyog Bulkiyo juga punya ciri khas warna merah putih. Enam penari memainkan alat musik terbang (rebana) mengenakan celana hitam, dengan lilitan sarung warna merah putih, serta kemeja putih yang dihiasi selempang. Kepala mereka menggunakan udeng jenis gilik bawang sebungkul. Hiasan udeng ini juga menggunakan warna merah putih.
"Dua warna itu merupakan ciri khas sejak dulu, kami tidak pernah ngutak-atik warna itu," imbuhnya.
Tiga penari yang memainkan peperangan serta pembawa panji pemisah peperangan juga mengenakan pakaian dengan warna dominasi merah putih. Mereka tampil dengan celana merah, kombinasi kemeja putih, serta jas hitam. Dipertegas dengan sebilah pedang untuk masing-masing penari.
Kedua penari itu memainkan tari peperangan dengan seorang penari yang bertugas menjadi penengah dengan tanda panji putih bergambar Anoman dan Dosomuko. Sementara empat pemain pemukul alat musik, mengenakan kemeja putih kombinasi celana hitam dengan hiasan jarit melilit di pinggangnya.
Reyog Bulkio diiringi empat jenis alat gamelan. Yakni gong, kencrik, terbang (rebana), kenong dan terompet. Ada kolaborasi seni genjringan, shalawatan atau seni baca Ambiya yang kental bernuansa Islam.
"Sampai sekarang kami masih sering tampil. Baik itu dalam ritual Jawa, seperti kelahiran anak, penganten atau adeg omah (membangun rumah). Atau acara peresmian gedung yang dihadiri bupati," pungkasnya.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini