"Jadi sistemnya sekarang ini sudah digital, but not a smart system. Itu hanya digital aja, mengandalkan orang untuk me-review. Itu sudah berjalan bertahun-tahun. Karena itu ini akan diubah, tidak akan dibiarkan begitu saja. Let's do it in a smart way," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Menurut Anies, sistem yang digunakan dalam proses penganggaran harusnya bisa langsung memverifikasi atau mendeteksi anggaran yang janggal. Dengan algoritma tertentu, Anies yakin sistem tersebut bisa tercipta. "Begitu ada masalah langsung nyala. Red light. Begitu ada angka yang tidak masuk akal, langsung muncul warning. Kan bisa tahu," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat diminta pendapat terkait sistem cerdas yang disebut Gubernur Anies itu, Pitoyo Hartono, ilmuwan pakar bidang jaringan saraf buatan mengaku tak memahami pengertian 'cerdas' yang dilontarkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. Namun menurut Pitoyo yang sehari-hari bergelut dengan sistem kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), dari ucapannya Anies terlihat mensimplifikasi konsep sistem cerdas yang diimpikannya.
"Anies berkata tinggal dibuat algoritma saja, untuk membuat sistem smart 'if ..., then...'. Permasalahannya, untuk mengisi 'if ...' seperti yang dikatakan Anies itu, akan ada hampir tak terhingga kemungkinan," ujar guru besar di Department of Mechanics and Information, Chukyo University, Jepang itu. "Lagipula kalau gampang, kenapa tidak dibuat dari dulu-dulu."
Pitoyo memberi penjelasan, sistem 'if..., then..' yang disebut Gubernur Anies itu dikenal dengan nama "expert system". Namun sistem itu sudah usang alias ketinggalan zaman. "Sistemnya 'laku' keras di tahun 80-an, tapi terus ditinggalkan karena problem yang saya sebut itu. Ada terlalu banyak kemungkinan yang harus dipikirkan," kata Pitoyo pada detikcom, Jumat (1/11/2019)
Doktor lulusan Universitas Waseda, Jepang itu mengatakan untuk masa kini dikembangkan sistem cerdas modern yang kebanyakan dibangun dengan menggunakan komponen utama kecerdasan buatan yakni neural network atau jaringan saraf buatan."Untuk membuat sistem yang dapat membedakan anggaran yang wajar dan tidak dengan kecerdasan buatan bukan sesuatu yang sulit," katanya.
Proses desainnya dengan mengumpulkan data-data masa lalu, baik untuk anggaran yang wajar maupun tidak wajar. Selanjutnya "melatih" jaringan saraf buatan itu melalui satu proses matematis yang disebut learning. Dalam proses "belajarnya" jaringan saraf buatan akan "menemukan" pola wajar atau tidak. Pola itu lantas bisa digunakan untuk mengklasifikasi anggaran yang baru.
"Mata anggaran yang baru akan diklasifikasikan, ke dalam kelas wajar atau tidak dengan akurasi yang baik dan ribuan kali lebih cepat dan konsisten dari manusia," ujar Pitoyo. "Hanya saja neural network yang tanpa campur tangan expertise manusia itu mempunyai kelemahan." Sistem cerdas modern tersebut kata Pitoyo tidak bisa menerangkan pada manusia mengapa hasil klasifikasi seperti itu.
"Jadi kalau neural network ini melakukan kesalahan, kita tidak bisa mengerti mengapa dia salah," ujar Pitoyo. "Sehingga pada akhirnya, dengan teknologi seperti ini manusia sebagai pengguna teknologi tetap harus bertanggung jawab terhadap teknologi yang digunakannya. Ini open-problem dari AI modern yang masih belum terselesaikan."
Soal kekhawatiran masih ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelewengkan anggaran meski sistem yang dipakai sudah sangat canggih, Pitoyo menyebut hal tersebut tergantung dari manusia yang memakainya. Dia menyebut perlu ada prosedur operasi standar, bahwa apapun rekomendasi dari sistem pintar itu soal anggaran serta keputusan akhir dari pengguna anggaran harus selalu dipublikasikan.
"Secanggih apapun sistemnya kuncinya tetap transparansi. Kalau pengambil keputusan memutuskan sesuatu yang berbeda dengan rekomendasi sistem, dia harus menerangkan alasannya. Dengan cara pemakaian semacam ini saya rasa sulit untuk menemukan celah koruptif," kata Pitoyo.
Pitoyo juga mengingatkan, jika pengguna anggaran atau pengambil keputusan turut terlibat dalam urusan mendesain sistem pintar untuk anggaran tersebut. "Mungkin saja mereka melatih sistem cerdas untuk melakukan tindakan koruptif yang sangat 'inovatif' sehingga sukar terdeteksi," kata Pitoyo.
"Memakai sistem cerdas semacam itu kembali lagi ke manusia yang menggunakannya. Pengguna sistem yang smart bukan saja perlu literasi teknis yang tinggi tapi juga moral, serta ethics yang benar," imbuhnya.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini