Warga tak perlu membeli elpiji. Kondisi ini telah berjalan sejak lama dan masih bertahan hingga sekarang. Detikcom mendatangi desa tersebut, Senin (30/9/2019) sore. Lokasi itu ada di Desa Rajek, Kecamatan Godong atau sekitar 3 kilometer dari objek wisata, Api Abadi Mrapen.
Abdul Aziz (50) warga RT 6, RW 1 Desa Rajek mengatakan, di lahannya terdapat sumur yang mengeluarkan gas. Sumur itu berada di lahan pekarangannya.
![]() |
"Tepatnya saya lupa kapan mulai ada sumur mengeluarkan gas. 20 tahunan ada. Iya. Saat itu belum ada elpiji di sini," kata Aziz ditemui di pekarangannya, Senin sore.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata saat dibor, keluar gas. Saya beruntung, karena sumurnya (keluar) gas. Saya pun berpikir kalau air saya bisa minta warga, kalau gas kan semua punya," pikir pria yang juga tokoh agama di desa itu.
Dia mengaku senang jika sumurnya mengeluarkan gas alam. Aziz pun membeli beberapa paralon atau pipa, untuk memanfaatkan gas dari sumurnya. Begitu dia memasukkan paralon ke dalam sumur, malah suara yang muncul amat berisik.
"Suaranya seperti pesawat. Oleh pak RT, diminta menutup sumur karena mengganggu," ujarnya yang kemudian dia menutup sumurnya.
Akibat sumur ditutup, suara mendesis dan gas pun tak lagi keluar. Lama tak terdengar lagi, akhirnya suara desis gas terdengar lagi di dekat rumahnya. Namun suara desisnya tak begitu kencang. Aziz pun mengeluarkan korek api dan menyalakannya di sumber suara desis, hasilnya dari lubang itulah muncul gas alam.
Menurut teknisi alat separator gas alam atau gas rawa desa setempat, Sarmadi, baru pada 2013, pemerintah desa setempat melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) mengambil alih pengelolaan sumur gas.
![]() |
Pada tahun itu, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah menerjunkan tim ahli geologi untuk menggelar riset di Desa Rajek. Hasil penelitian mencatat bahwa ternyata kandungan gas alam melimpah ruah terpendam di bumi Desa Rajek. Dengan perwakilan dari Ahli Geologi yang meneliti di Desa Rajek, adalah Handoko Teguh Wibowo.
"Dari Ir Handoko melakukan penelitian di desa ini. Tahun 2013, membuat percobaan satu titik di perumahan desa. Warga saat itu belum begitu tahu. Hanya saat ngebor, warga tahunya sumur mengeluarkan air. Belum tahu kalau sumur itu mengeluarkan gas," kata Sarmadi ditemui di rumahnya.
Pria yang juga Ketua RT 6, RW 2 ini menambahkan, usai penelitian, pemerintah provinsi membangunkan dua alat separator. Alat ini berada di RT 7, RW 1 dan di RT 5 RW 2. Alat ini berfungsi untuk menampung air dan gas, dari sumur warga yang mengeluarkan gas. Ada dua tabung di separator. Satu tabung untuk menampung air sumur yang campur dengan gas. Satu lainnya, tabung untuk gas yang telah dipisah dengan air.
"2016, yang kemarin dapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jateng, dibikinin separator. Dua separator. Separator itu kan pemisah. Yang satu air dan gas. Satunya murni sudah pisah antara air dengan gas," terangnya.
"Sebatas 24 rumah atau 24 KK (kepala keluarga). Mereka dulunya didaftar dulu. Terutama untuk orang miskin," tambahnya.
Sampai saat ini, baru 24 KK yang mendapatkan distribusi gas setiap harinya. Mereka pun tak perlu lagi membeli gas elpiji untuk kebutuhan memasak. Sebab dari gas alam yang disalurkan ke rumahnya, mereka bisa memasak setiap saat.
"Kadang ada yang ingin (ingin rumahnya disaluri gas rawa). Tapi takut bahaya. Justru lebih bahaya melon daripada gas ini," ungkap pria yang mengaku lulusan SD ini.
Sarmadi sendiri mengaku meski gas rawa atau gas alam tak begitu bahaya, dia pribadi pernah terkena dampak semburan gas sumur. Suami dari Sutiini ini mengenang saat itu sedang dilakukan pengeboran sumur.
"Satu, dua malam tidak keluar. Malam ketiga keluar. Saya kasih paralon. Tiba-tiba nyembur. Paralon kena wajah saya. Sehari semalam tak sadarkan diri karena benturan paralon yang mengenai wajah saya. Tapi gasnya tidak bahaya," ungkapnya.
![]() |
Dia sendiri merupakan satu orang yang dipercaya Handoko untuk mengelola penyaluran gas ke rumah warga desa itu melalui separator. Sementara warga yang menerima saluran gas dibebani biaya Rp 15 ribu per bulan.
"Anggota Pokmas memutuskan satu bulan Rp 15 ribu untuk warga yang dapat saluran gas. Tapi kadang anggota tidak menarik biaya itu," bebernya.
Dari hasil penelitian juga, jelasnya lebih lanjut, bahwa kandungan gas alam di Desa Rajek masih akan keluar sampai 40 tahun ke depan. Terutama di wilayah punden desa setempat. Karenanya, Sarmadi mengungkapkan jika kandungan gas desa, masih bisa dipakai terus untuk kebutuhan memasak rumah tangga.
"Yang di punden bisa 30-40 tahun. Ini kemungkinan satu garis dengan Api Mrapen," ungkapnya memperkirakan.
Mujiono (50) warga RT 5 RW 2 mengaku sudah hampir satu tahun lebih memakai gas rawa untuk memasak di rumahnya.
"Gas rawa ini ngirit. Tidak harus beli gas melon. Saya masak terus setiap hari. Amat membantu ada gas rawa atau gas alam ini," ujarnya ditemui di rumahnya sedang memasak.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini