Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus membeberkan sejumlah noda pelanggaran etik tersebut. Beberapa di antaranya, seperti pelanggaran etik yang diduga pernah dilakukan oleh Pimpinan DPR.
"Dalam masa bakti DPR 2014-2019 banyak terjadi pelanggaran kode etik yang tidak saja dilakukan oleh anggota DPR tetapi juga melibatkan Pimpinan DPR. Bahkan ada Pimpinan DPR, Setya Novanto (Setnov) dan Fadli Zon melakukan pelanggaran kode etik sebanyak 3 kali. Artinya untuk yang ketiga kalinya seharusnya yang bersangkutan mendapat sanksi berat berupa pemberhentian dari jabatannya di Pimpinan dan/atau anggota DPR. Namun ketiganya lolos dari sanksi tersebut tanpa alasan yang jelas," kata Lucius kepada wartawan, Minggu (29/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setya Novanto (waktu masih menjadi Ketua DPR-RI) melakukan pelanggaran etik pertama ketika bertemu Donald Trump di Amerika Serikat ketika Trump sedang berkampanye untuk Pemilihan Presiden. Pelanggaran etik kedua, ketika Setya Novanto terlibat pembicaraan rahasia yang belakangan disebut istilah "kasus Papa Minta Saham", dan ketiga merekayasa diri seolah-olah mengalami kecelakaan ketika sedang diburu KPK. Namun Setya Novanto turun dari jabatan karena kasus korupsi dan bukan kasus etik," imbuhnya.
Untuk diketahui, Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) pada Desember 2015 menutup kasus pelanggaran etik 'kasus Papa Minta Saham' Setya Novanto. Setnov saat itu juga sudah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Ketua DPR, tapi tetap menjadi anggota DPR. MKD menyatakan bersalah atau memberi sanksi kepada Setnov. Anggota MKD Sarifuddin Sudding menyebut keputusan MKD berdasarkan sisi kemanusiaan.
Kembali ke penjelasan Lucius. Selain membeberkan noda pelanggaran etik dari Setnov, Lucius juga menyebutkan beberapa pelanggaran etik yang pernah dilakukan oleh Fadli Zon.
"Fadli Zon (Wakil Ketua DPR-RI) juga melakukan pelanggaran etik pertama kali ketika bersama Setya Novanto bertemu Donald Trump. Kedua, meminta fasilitas penjemputan dan pendampingan untuk putrinya kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di New York. Ketiga, terlibat dalam kasus penyebaran berita bohong atau hoax terkait Ratna Sarumpaet melalui akun twiternya. Namun hingga kini atau berakhirnya masa jabatannya, ia tetap bercokol dan tak tergoyahkan di posisinya," ungkapnya.
Namun Fadli Zon membantah hal itu. Fadli menegaskan dia tak pernah melakukan pelanggaran.
"Tidak ada pelanggaran termasuk teguran (dari MKD). Silakan cek tak ada satu dokumen pun yang menyatakan adanya pelanggaran etik dalam bentuk apa pun," kata Fadli Zon kepada detikcom, Minggu (29/9/2019).
Masih berkaitan dengan Pimpinan DPR, Lucius lantas mengungkap kasus pelanggaran etik lainnya. Yakni, kasus Ketua DPR Ade Komarudin yang dilaporkan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Honing Sani, karena memproses penggantian antarwaktu Honing.
Padahal, pemecatan itu masih jadi sengketa di pengadilan. Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah juga pernah diduga melakukan pelanggaran etik ketika menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, yakni waktu mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni UI (ILUNI).
Tak hanya sampai di situ saja, Lucius menyebutkan beberapa pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh beberapa anggota DPR. Seperti dugaan Komisi I DPR Rachel Maryam yang meminta fasilitas transportasi kepada KBRI Prancis untuk dirinya dan keluarga dalam rangka berlibur Maret 2019.
Anggota Komisi III DPR Ruhut Poltak Sitompul yang dinilai melanggar etik karena mengeluarkan kata-kata yang tidak layak dalam rapat kerja antara Komisi Hukum DPR dan Kapolri Badrodin Haiti pada April 2016. Anggota DPR Komisi IV Fanny Safriansyah alias Ivan Haz diputuskan melanggar kode etik berat karena terbukti melakukan kekerasan terhadap pembantu rumah tangganya dan dipecat dari DPR.
Dia juga mengungkit pengaduan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah terhadap tiga kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di parlemen, yaitu Presiden PKS Sohibul Iman, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS yang juga Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Ketua Dewan Syariah PKS yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua MKD Surahman Hidayat. Ketiganya dianggap melanggar etik karena melakukan pemecatan dirinya dari anggota PKS dan menarik dirinya dari kursi Pimpinan DPR sementara kasus pemecatannya masih dalam proses pengadilan.
Lucius menilai, di luar kasus-kasus tersebut masih banyak kasus pelanggaran etik lainnya. Menurutnya, DPR kerapkali justru menyerang balik mereka yang mengritik laku pelanggaran etiknya.
"Masih banyak kasus pelanggaran etik lainnya, namun pelanggaran-pelanggaran etik di atas sudah menjadi bukti yang cukup bahwa martabat dan kehormatan DPR justru dirusak oleh Pimpinan dan anggota DPR sendiri. Namun seringkali DPR menuduh pihak-pihak yang mengritiknya telah menggerogoti martabat dan kehormatan mereka. Hal ini hanyalah menjadi dalih agar DPR tidak terus-terusan dikritik dan membentengi diri dengan aturan-aturan yang mereka buat sendiri," pungkasnya.
Sebut DPR Sakit, Sekelompok Massa Lakukan Aksi Kelilingi DPR:
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini