Agus menganggap penangkapan Dandhy tidak lazim karena dilakukan saat tengah malam. Hal tersebut bisa dipertanyakan melalui proses praperadilan.
"Terbuka bagi Dandhy untuk membuat upaya hukum, salah satunya praperadilan terkait waktu penangkapan yang tak wajar," kata Agus saat dihubungi detikcom, Jumat (27/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai UU ITE yang kerap digunakan sebagai dasar menangkap orang selama ini memiliki sifat subjektif. Seharusnya dalam hukum, penindakan harus dilakukan secara objektif.
"Misalnya apa kriteria berita hoaks itu, apa kriteria keonaran dan kebencian? Maka apa yang dicuitkan oleh Dandhy ini harus dibuktikan secara objektif apakah dapat terpenuhi kriterianya," kata Agus.
Dosen Fakultas Hukum UNS ini juga menyarankan agar kepolisian berhati-hati dalam kasus tersebut. Jangan sampai polisi menyalahgunakan wewenangnya sebagai penegak hukum.
"Bisa saja apa yang dicuitkan oleh Dandhy hanyalah ekspresi warga negara terhadap peristiwa sosial politik yang wajar. Sehingga polisi harus hati-hati melanjutkan peristiwa ini agar tak menyalahgunakan kewenangan," ujarnya.
Agus khawatir jika ternyata postingan Dandhy tersebut bukanlah penyebab utama aktivis itu ditangkap. Sebab Dandhy sebelumnya juga dikenal lewat karya film Sexy Killer yang mungkin menyudutkan tokoh-tokoh nasional.
"Saya berharap polisi profesional. Karena track record Dandhy terkait dengan film dokumenter Sexy Killer yang menghebohkan sebelum Pilpres kemarin. Jangan sampai cuitan Papua itu hanya dijadikan momen untuk menangkap Dandhy," pungkasnya.
Simak juga video "Meski Telah Dipulangkan, Aktivis Dandhy Laksono Bersatus Tersangka":
(bai/rih)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini