Dari puluhan begawan hukum itu, ada yang masih hidup ada pula yang sudah tutup usia. Sebab, pembahasan RUU ini mulai didengungkan sejak 1950-an. Salah satu yang telah tutup usia adalah begawan hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Prof Loebby Loqman.
Prof Loebby lahir pada 10 Oktober 1935 dan meninggal dunia pada 24 Februari 2010, pukul 05.00 WIB. Jenazahnya dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Prof Loebby, para begawan hukum di Indonesia terlibat merumuskan RUU KUHP, namun tidak bisa menikmati hasilnya hingga mereka tutup usia. Seperti mantan Menteri Kehakiman ke-9, Prof Moeljanto.
Moeljatno dilahirkan di Surakarta, Hindia Belanda, pada 10 Mei 1909. Ia menyelesaikan pendidikan Algemene Middlebaar School (AMS) Surakarta pada 1927. Sehabis lulus dari AMS, Moeljatno berangkat ke Batavia untuk mengikuti kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (sekolah tinggi hukum yang kini menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
Setelah Proklamasi pada 1945, Moeljatno mulai bekerja sebagai jaksa tinggi. Sejak 1952, dia mulai mengajar di UGM. Dia menjadi Menteri Kehakiman pada 1956-1957.
Ada juga guru besar Universitas Diponegoro (alm) Prof Soedarto yang meninggal pada 1986. Juga guru besar Universitas Gadjah Mada (almarhum) Prof Roeslan Saleh yang wafat pada 1998.
Terlibat pula (almarhum) Prof Satochid Kartanegara yang wafat sekitar 1971. Satochid merupakan angkatan orang Indonesia pertama yang lulus sarjana hukum di Rechtshogeschool di Jakarta.
Dalam penelitiannya, Prof Loebby menilai penerapan delik penghinaan terhadap pejabat masih sangat relevan untuk dipertahankan. Karena pejabat negara, yakni presiden dan wakilnya merupakan pencerminan seluruh rakyat dan negara yang harus dilindungi martabat dan jabatannya dari tindakan pelecehan dengan sewenang-wenang untuk merendahkan jabatan itu.
"Namun demikian, penerapan pasal-pasal penghinaan bukan sebagai cara pemerintah menghadapi, mengendalikan, dan mematikan kritik-kritik terhadap perilaku dan kebijakan Presiden," ujar Prof Loebby dalam Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Delik-delik Penghinaan terhadap Pejabat Negara dan Simbol-simbol Negara sebagaimana dikutip dari website Kemenkumham, Kamis (26/9/2019).
Untuk tidak disalahgunakan penerapannya, peran aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus memiliki kepekaan dalam menjaga etika kehidupan berbangsa dan bernegara menurut ukuran obyektif publik. Sedangkan untuk menyampaikan control terhadap penyelenggara negara harus disampaikan secara wajar, proporsional, serta mengindahkan norma hukum, etika, dan norma-norma lainnya.
"Penerapan delik penghinaan yang berlebih yang berkaitan dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah atau kebijakan pejabat publik akan mematikan secara perlahan demokrasi, sebaliknya penggunaan hak warga negara untuk menyampaikan kritik secara berlebihan terhadap pejabat negara dan pemerintah akan melahirkan sikap anarkis. Di sinilah relevansinya penerapan delik penghinaan dengan pengayoman terhadap masyarakat," papar Prof Loebby.
Delik penghinaan terhadap pejabat negara dan simbol-simbol negara sebagai delik biasa. Oleh karena itu, tanpa ada pengaduan, polisi sebagai penyidik harus mampu berperan aktif menyidik perkaranya, agar tetap terjaga kehormatan, martabat presiden, dan wakil presiden.
"Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, delik-delik penghinaan terhadap pejabat dan simbol-simbol negara masih harus mendapat tempat dalam pasal-pasalnya dengan tetap menyeimbangkan antara perlindungan terhadap pejabat dan perlakuan demokrasi," demikian saran Prof Loebby.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini