Arif awalnya memaparkan, dalam UU KPK 30/2002 yang berlaku saat proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Tamzil dimulai, penyelidik KPK bisa mendapatkan bukti permulaan yang cukup setidak-tidaknya dua alat bukti. Barang bukti tersebut bisa berupa keterangan saksi hingga bukti petunjuk seperti yang diatur dalam KUHAP.
"Kalau di UU KPK dimungkinkan ada bukti lain yang sifatnya khusus, misalnya perluasan dari pengertian bukti petunjuk bisa diperoleh dengan rekaman atau penyadapan. Maka itu sudah termasuk alat bukti yang dimaksud di situ. Dengan demikian, tidak hanya terbatas di KUHAP. Itulah bukti permulaan menurut UU KPK, minimal ditemukan dua alat bukti," kata Arif, saat menyampaikan keterangan ahli yang dihadirkan KPK, di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Kamis (26/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, Arif menjelaskan tentang pengertian tangkap tangan. Tangkap tangan, menurutnya, adalah kegiatan mendesak yang dikhawatirkan, jika tidak dilakukan segera, tersangka bisa melarikan diri.
"Dalam keadaan tertentu, prosedur seperti itu tidak sepenuhnya bisa dipenuhi apabila keadaannya yang disebut tertangkap tangan. Karena kalau harus dipenuhi prosedur, tersangkanya bisa lari, menghilangkan barang bukti, dan karena itu ada prosedur yang dipotong, diperingankan," ujar Arif.
"Penangkapan pada saat tangkap tangan ketika sedang melakukan, beberapa saat setelah melakukan, saat sedang melakukan, diteriaki khalayak karena itu masih konteks kejahatan, beberapa saat itu ditemukan barang bukti berkaitan dengan tindak pidana. Kondisi-kondisi seperti itu bisa dilakukan tangkap tangan tanpa dilengkapi dengan prosedur," sambungnya.
Arif juga menjelaskan tentang penyertaan dua orang dalam suatu dugaan korupsi. Dia mencontohkan misalnya seorang staf wali kota ditangkap karena menerima uang yang kemudian hendak diserahkan ke wali kota.
"Kalau penyertaan dua orang atau lebih bersepakat. Nah, peran antara satu dan yang lainnya tidak perlu sama persis. Apa yang dilakukan pelaku ini belum tentu barang bukti harus ada di dua pelaku itu. Pernah terjadi penangkapan misalnya wali kota itu lagi di Bali tapi bisa saja peranan stafnya menerima uang dan kemudian diserahkan ke wali kota. Menurut saya, sah saja karena barang buktinya ada di stafnya tapi harus ada buktinya, hubungan kalau itu kejahatan penyertaan," jelasnya.
Sementara itu, pengacara Tamzil, Aristo Seda, menyebut kliennya keberatan atas penetapan tersangka tersebut karena tidak ditemukan bukti saat adanya OTT. Alasannya, barang bukti yang digunakan tidak dalam penguasaan Tamzil.
"Dalam kasus tangkap tangan itu, harusnya barang bukti dalam penguasaan tersangka, tapi dalam kasus Kudus, secara jelas, faktanya dilakukan penangkapan terhadap staf khusus. Barang bukti ada dalam penguasaan staf khusus. Tetapi bagaimana relevansi alat bukti staf khusus itu dipakai untuk penetapan tersangka terhadap Bupati Kudus Tamzil," ujar Aristo.
Tamzil ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga menerima suap terkait pengisian jabatan di wilayahnya. Ada dua orang lainnya yang ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu staf khusus Bupati Agus Soeranto dan Plt Sekdis DPPKAD Kudus Akhmad Sofyan.
Tamzil diduga menerima duit Rp 250 juta dari Akhmad lewat Agus. Duit itu diduga untuk keperluan pembayaran utang pribadi Tamzil.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini