Soal Penghinaan Presiden di KUHP Baru, PKS: Bisa Jadi Pasal Karet

Soal Penghinaan Presiden di KUHP Baru, PKS: Bisa Jadi Pasal Karet

Mochamad Zhacky - detikNews
Kamis, 19 Sep 2019 16:47 WIB
Foto: Alfons/detikcom
Jakarta - PKS menilai pasal tentang penghinaan presiden dalam KUHP yang baru multi intepretasi atau pasal karet. PKS berpendapat bahwa wajar jika presiden menjadi pusat perhatian, entah dalam bentuk kritik atau komentar.

"Pasal ini (penghinaan presiden) bisa jadi pasal karet. Konstitusi sudah menyatakan kebebasan pendapat adalah hak warga negara. Dan Presiden sebagai pejabat yang mengurus urusan publik wajar akan selalu jadi pusat komentar," kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Kamis (19/9/2019).

Mardani menilai, lebih baik mengedepankan pendekatan edukasi kepada masyarakat. Dia menyebut pemberlakuan pasal penghinaan presiden bukan langkah bijak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jauh lebih baik pendekatan literasi dan edukasi. Bukan langkah bijak pasal ini," sebutnya.


Pasal Penghinaan terhadap Presiden tertuang dalam KUHP untuk menggantikan KUHP kolonial Belanda. Namun, dalam penjelasannya disebutkan tegas bahwa kebebasan berpendapat untuk mengkritik kebijakan pemerintah tidak termasuk kategori penghinaan presiden.


Pasal 218 ayat 1 menyebutkan:
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," demikian bunyi penjelasan RUU KUHP versi 15 September yang dikutip detikcom, Selasa (17/9/2019).


Yang dimaksud dengan 'menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri' pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

"Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena 'menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan' (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara teoretik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala perse dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisasi) di berbagai negara," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(zak/fdu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads