Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota Baru

Jelajah Ibu Kota Baru

Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota Baru

Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Kamis, 19 Sep 2019 16:22 WIB
Foto: Mbah Suharjo, transmigran generasi pertama Desa Sidorejo (Rakhmad HP/detikcom)
Jakarta - Kelak bila tempat ini menjadi ibu kota, jasa orang-orang renta ini perlu selalu diingat. Puluhan tahun lalu, mereka bertaruh nyawa membabat alas, meneroka belantara meski malaria maut mengancam jiwa. Bahkan mereka sempat merasa dibuang oleh negara.

Ini adalah kisah perjuangan para transmigran di Kabupaten Penajam Paser Utara pada masa lalu yang begitu berat. Kabupaten yang akan jadi Ibu kota baru itu dulunya hanyalah rawa-rawa dan hutan belantara.


Pada Selasa (10/9/2019) Tim Jelajah Ibu Kota Baru detikcom mengunjungi Desa Sidorejo, Kecamatan Penajam Paser Utara untuk mendapatkan cerita langsung dari transmigran yang ikut program transmigrasi gelombang pertama di Kaltim. Menurut keterangan Kepala Desa Sidorejo, Muhaji, Sidorejo merupakan desa transmigrasi pertama di Kaltim sejak tahun 1957, saat Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Sukarno.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesampainya di Sidorejo, kami menemui Slamet, transmigran asal Solo yang turut ikut program transmigrasi Presiden Soekarno itu. Kami menemuinya saat ia sedang mengurus ladangnya. Tanda-tanda usia senja begitu nampak pada wajahnya. Maklum, usia Slamet sudah 67 tahun.

Slamet bercerita, dirinya yang masih berusia enam tahun ketika itu diajak orang tuanya pindah ke Kalimantan Timur melalui program transmigrasi tahun 1957. Slamet berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta menuju Pelabuhan Balikpapan, Kalimantan Timur, menggunakan kapal layar. Pasalnya, zaman itu kapal mesin belum banyak digunakan.

Melalui program transmigrasi ini, orang tuanya mendapatkan rumah dan lahan garapan. Lahan inilah yang nantinya akan jadi modal mereka untuk bertani.

"Orang tua dari Jawa langsung mau. Dijanjikan dikasih rumah satu, tanah pekarangan seperempat, lahan satu hektare," tutur Slamet.

Namun, rumah yang dijanjikan oleh pemerintah ternyata kondisinya masih sangat seadanya. Dinding rumahnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya dari daun nipah. Rumah tersebut berada di tengah hutan belantara. Selama setahun pertama, Slamet dan keluarganya mendapat jatah sembako dari pemerintah.

"Rumah, masih kayu bulat mas. Daunnya, daun nipah. Tak ada genting. Dijamin kurang lebih setahun, diberi jatah beras dan ikan asin. Sudah dilepas, bapak saya usaha sendiri. Waktu itu hutan ditebang saja, kayunya belum dikumpulkan," katanya sembari mengingatkan masa berat pada tahun-tahun itu.

Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota BaruFoto: Slamet saat menunjukkan lahannya. (Ardan/detikHealth)

Slamet masih ingat betul, makanan pokok yang mereka terima adalah bulgur. Menurut penuturannya, bulgur ini punya bau menyengat. Slamet menyebutnya sebagai 'beras bulgur'. "Beras bulgur dulu itu makanan kami. Bau sekali beras itu. Meskipun dicuci berkali-kali, baunya masih ada," tambahnya.


Dia juga mengatakan kondisi Desa Sidorejo pada masa itu masih berbentuk rawa-rawa. Sedangkan tanahnya masih berjenis gambut. Jika tanah itu diinjak, maka bagian tanah lain kadang masih bergoyang-goyang. Ular, beruang, dan binatang buas lainnya masih banyak ditemukan.

Tak hanya kendala dari lingkungan saja. Slamet juga ingat bahwa desanya pernah mendapat serangan epidemi malaria tropika. Berdasarkan kesaksiannya, orang yang terkena penyakit malaria biasanya akan merasakan sakit di sore hari, dan paginya akan meninggal dunia.

"Banyak kendalanya. Salah satunya ya penyakit. Sore-sore sakit, paginya mati. Pagebluk itu bahasa Jawa-nya. Banyak yang nggak betah karena itu, akhirnya ada yang ke Balikpapan atau pulau ke Jawa. Malaria tropika dan lain sebagainya. Adaptasinya saat itu masih susah. Akses kemana-mana susah. Mobil itu masih mobil proyek," kenangnya.


Slamet pernah menjadi korban malaria tropika ini. Sampai-sampai ia harus berganti nama, karena orang tuanya percaya bahwa penyakit tersebut adalah kesialan yang dibawa oleh nama. Sebelumnya, Slamet bernama Marno.

Lantas, ketika mendengar kabar soal pemindahan Ibu kota ke Penajam Paser Utara, Slamet merasa bersyukur. Semua perjuangannya kala menjadi transmigran pertama itu seolah terbayar.

"Kalau pindah ibu kota. Alhamdulillah, semoga bisa nikmati. Walaupun semestinya yang menikmati itu anak cucu. Kalau pandangan saya sangat setuju," ujarnya.


Selain Slamet, Tim Jelajah Ibu Kota detikcom juga berkunjung ke kediaman Suharjo yang merupakan transmigran tertua di desa Sidorejo. Suharjo sendiri adalah transmigran asal Blora, Jateng. Namun sayang, Suharjo sudah sulit untuk diajak berkomunikasi karena faktor usia. Menurut putrinya, Ismiah, Suharjo sudah berumur 100 tahun lebih.

Ismiah menuturkan, kegiatan sehari-hari ayahnya kini hanya berdiam diri saja di teras rumah. Terkadang Suharjo juga masih ikut salat berjamaah di masjid terdekat.
Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota BaruFoto: Suharjo (Rakhmad HP/detikcom)


Meskipun begitu, kami masih berusaha menanyai Suharjo. Dia hanya menjawab 'iya' dan menganggukkan kepala. Suharjo membenarkan, bahwa kala itu Desa Sidorejo adalah hutan belantara dan rawa-rawa.


Merasa Terbuang, Hingga Hujan Air Mata

Di hari selanjutnya, pada Rabu (11/9) kami berkunjung ke Desa Semoi Dua, Kecamatan Sepaku yang juga merupakan desa transmigran era Suharto. Program transmigrasi di Desa ini dimulai sejak tahun 1970-an. Desa ini pulalah yang terindikasi kuat sebagai titik Ibu kota baru.

Kami bertemu dengan Mas'ud yang merupakan generasi kedua transmigran di Desa Semoi Dua. Kebetulan, Mas'ud juga menjabat sebagai kepala dusun di dusun I. Cerita Mas'ud tak jauh berbeda dengan cerita Slamet, sama-sama berisi tentang kemalangan hidup para transmigran. Mas'ud adalah transmigran asal Tuban, Jawa Timur.

Menurut penuturan Mas'ud, pada zaman itu akses jalan di Semoi juga masih sangat sulit. Dia dan keluarganya bahkan harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu jika ingin pergi ke Balikpapan.

"Jadi kami transmigrasi tahun itu, tahun 1977, saya lahir 1971. Umur 6 tahun. Saya sendiri dari Tuban. Awalnya Semoi Dua dulu itu penuh penderitaan. Kalau kita mau ke balikpapan itu, kita mesti jalan ke KM 38 dulu, kita mesti jalan kaki sekitar 20 kilometer," tuturnya mengenang masa kepahitan kala itu.

Mas'ud mengatakan, karena akses jalan yang masih sangat sulit. Lingkungan Desa Semoi Dua juga masih jalan berbukit dan hutan belantara. Di sana, pohon-pohon besar seperti pohon ulin masih banyak ditemui.

Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota BaruFoto: Mas'ud (Muhammad Abdurrosyid/detikcom)

Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat transmigran di Semoi Dua bisa dibilang masih terpuruk. Bahkan, meskipun mereka berhasil memanen hasil pertanian dan kebun mereka, barangnya tidak laku lantaran sulit untuk menjualnya.

"Tanaman itu hasilnya melimpah, tapi pemasarannya susah. Satu biji, singkong itu bisa sampai lima kilo. Tapi gak laku. Kita juga sudah gak bisa makan singkong," ungkapnya.

Akibat kondisi yang begitu sulit ini, banyak transmigran yang merantau ke Balikpapan atau kembali ke kampung halamannya. Tetapi saat itu, keluarga Mas'ud memilih untuk tinggal karena terpaksa.

Dia juga bercerita, saat melakukan perjalanan untuk mencapai rumah kayu yang disediakan oleh pemerintah, para orang tua nampak menangis. Bahkan, orang tuanya sendiri merasa seperti orang buangan.

"Istilahnya dulu itu hujan air mata. Sambil berjalan itu rata-rata menangis orang tua itu. Saya masih anak-anak waktu itu, jadi enjoy aja, melihat sungai, melihat ikan-ikan banyak. Kalau orang tua menangis, karena dia merasa terbuang," katanya.

Kesulitan tak hanya sampai di situ. Ketika mencari rumahnya, Mas'ud menjelaskan bahwa orang-orang harus melempar batu terlebih dahulu, untuk mendengar bunyi gentingnya yang terbuat dari seng.


Seperti halnya Slamet, Mas'ud menyebut di Semoi Dua pun pernah ada pagebluk 'sore sakit, pagi mati' karena epidemi malaria tropika. Bahkan, dia sempat tak bisa berjalan selama tiga bulan karena serangan ini.

"Termasuk saya. Pernah tiga bulan ndak bisa jalan. Malaria tropika ini di Kalimantan kayak penyakit bawaan. Jadi, kalau belum kena malaria tropika, belum bisa dinamakan orang kalimantan," imbuhnya.

Meskipun begitu, Mas'ud menjelaskan pada satu tahun pertama program trasmigrasi pemerintah masih memberikan bantuan beras, ikan asin, minyak goreng, minyak tanah sama sabun jari dua.


Hal senada pun dituturkan oleh warga Semoi Dua lainnya. Kami mewawancarai Karsimah, generasi pertama transmigran pertama yang sudah berusia 70 tahun. Karsimah juga berasal dari Tuban, Jawa Timur.

Karsimah mengatakan bahwa saat itu kondisi Semoi Dua masih berbentuk hutan belantara. Untuk menempuh perjalanan keluar Semoi Dua, dia bahkan sampai menginap di hutan hanya bekal selendang sebagai alas tidurnya.

"Sedih sekali. Jam 12 malam masih di jalan. Selendang pernah saya pakai untuk alas tidur sama anak-anak," kata Karsimah dalam bahasa Jawa.

Orang-orang Ini Telah Bertaruh Nyawa Meneroka Belantara Ibu Kota BaruFoto: Karsimah (Muhammad Abdurrosyid/detikcom)

Sedangkan terkait serangan malaria tropika, Karsimah mengaku dirinya tidak ikut menjadi korban. Saat itu, justru dia yang ikut menolong para transmigran yang terkena penyakit malaria tropika.

"Kalau malaria itu yang di hutan dalam sekali. Kalau sudah ada yang kena, mereka ke sini rumah saya. Numpang mandi dan makan. Yang mati kemudian dipikul dengan sarung. Soalnya belum ada mantri kesehatan dan lain-lain," lanjutnya.

Karsimah mengaku ikut program transmigrasi ini karena ajakan sanak saudaranya. Program tersebut seperti menjanjikan masa depan yang gemilang pada kala itu.

Ketika mendengar kabar soal Ibu kota yang akan dipindahkan ke PPU, Karyimah merasa gembira. Dia merasa pemindahan Ibu kota ini merupakan harga yang pantas atas semua perjuangannya kala menjadi warga transmigran pada tahun-tahun yang berat itu.

"Alhamdulillah, bisa merasakan rejane (kemajuan) zaman. Semoga bisa dinikmati cucu-cucuku," pungkasnya.

Simak laporan Jelajah Ibu Kota Baru, hanya di detikcom.
Halaman 2 dari 5
(rdp/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads