Foto: Teluk Balikpapan dari ketinggian (Ibad Durohman/detikX)
Kamis, 19 September 2019Musa, Ketua Lembaga Adat Suku Paser Kabupaten Penajam Paser Utara bergegas menemui para tetua suku Paser usai menonton Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara pada 26 Agustus lalu di televisi. Namun, Musa heran tetua suku tak kaget dengan berita tersebut. Rupanya para tetua suku sudah meramalkan, bahkan sejak ratusan tahun tahun lalu, bahwa di wilayah Nagri Paser suatu saat nanti akan jadi ibu kota yang besar dan makmur. “Nubuat (ramalan) itu disampaikan melalui sempuri (folklore) yang diturunkan secara lisan secara turun temurun,” kata Musa kepada detikX, Selasa, 10 September 2019, di Kelurahan Nenang, Kecamatan Penajam, Penajam Paser Utara.
Kisah soal nubuat itu, menurut Paidah Riansyah, sejarawan suku Paser, yang juga Ketua Laskar Pertahanan Adat Suku Paser, muncul pada periode “Sie Penggawa” atau periode Sembilan Penggawa, sekitar tahun 1300-an. Pada masa itu sistem kerajaan digantikan dengan sistem kepunggawaan, di mana yang memimpin kerajaan adalah masyarakat adat yang diwakili sembilan penggawa. Pergantian sistem ini terjadi setelah wafatnya Ratu Aji Mubar Mayang, yang tak lain raja terakhir Kerajaan Tuban Layar (1305-1382). Sembilan penggawa ini berkuasa hingga 100 tahun lamanya sebelum akhirnya terjadi perselisihan paham di antara mereka. “Dalam perjalanannya terjadi cekcok, hingga akhirnya salah satu penggawa itu mengusulkan untuk mencari raja kembali,” ujar Paidah kepada detikX, Senin 9 September, di Penajam.
Dalam misi mencari raja baru ini, mereka sepakat untuk pergi ke negeri timur jauh. Delapan dari sembilan penggawa berlayar mengarungi samudera menuju dataran China. Namun, belum sampai di tujuan, tim ekspedisi ini menemukan sebuah pulau di tengah samudera. Dalam sempuri, sebagaimana dituturkan Paidah, pulau itu disebut negeri yang aneh atau negeri ghaib. Penghuninya adalah suku Malimunan. Para penggawa itu akhirnya memutuskan berlabuh di negeri gaib tersebut.
Musa, Ketua Lembaga Adat Suku Paser Kabupaten Penajam Paser Utara
Foto : Ibad Durohman/detikX
Suku Malimunan seolah tahu tujuan para penggawa itu singgah ke pulau. Mereka menyarankan kedelapan penggawa kembali ke Nagri Paser, sebab raja yang mereka cari tak akan ada di China, melainkan akan lahir di Paser sendiri. Sebelum para penggawa itu kembali, suku Malimunan memberi beberapa benda, antara lain sebuah gong, peti yang terbuat dari batu berisi pusaka, dan delapan buah bingkisan. Delapan bingkisan itu dipesan agar jangan dibuka sebelum tiba di Paser. “Dalam bahasa sempuri, delapan bingkisan itu disebut ‘Walu Belingis’. Hingga kini gong yang diberi nama gong karampungen dan peti batu yang diberi nama peti bendalatana, dan peralatan kerajaan yang diberikan Suku Malimunan masih tersimpan di Komang (Kecamatan Muara Komang, Kabupaten Paser),” terang Paidah.
Dalam perjalanan pulang, salah satu penggawa yang bernama Seranta penasaran dan tak sabar ingin membuka bingkisan-bingkisan itu. Mula-mula, ketika kapal singgah di Pulau Jawa, Seranta membuka satu bingkisan. Kemudian saat singgah di Pulau Sulawesi, Seranta membuka satu lagi. Begitu lagi seterusnya. Hingga akhirnya tersisa satu bingkisan yang belum dibuka oleh penggawa dari suku Balik (Balikpapan) itu. Satu bingkisan terakhir itu akhirnya dibuka di Nagri Paser, tepatnya di teluk Balikpapan.
Jadi memang para tetua sudah menubuatkan nanti di akhir akan ada peristiwa besar di Nagri Paser. Wallahu alam."
Masyarakat Paser percaya, seandainya semua bingkisan itu dibuka di Nagri Paser, wilayah itu akan tumbuh besar penduduknya dan terkenal ke seluruh dunia. Namun, meski tersisa satu bingkisan yang dibuka, para tetua suku dan masyarakat adat Paser tetap percaya suatu hari nanti bingkisan itu akan membuat Nagri Paser terkenal. Kepercayaan itu dipegang hingga beratus-ratus tahun dan diabadikan melalui sempuri yang diceritakan turun temurun. “Nah mungkin itu yang disangkutpautkan oleh masyarakat dengan ibu kota RI yang sekarang. Kalau Anda berkunjung ke tetua-tetua kami, itu bukan sesuatu yang dikarang-karang memang itu disampaikan secara turun temurun. Jadi memang para tetua sudah menubuatkan nanti di akhir akan ada peristiwa besar di Nagri Paser. Wallahu alam,” pungkas Paidah.
Selain soal ramalan, sejarah Suku Paser juga cukup menarik untuk disimak. Dalam banyak kesempatan, Suku Paser selalu diidentikan dengan Suku Dayak yang meninggali pulau Kalimantan. Namun, Musa menolak hal itu. Menurutnya, meski secara kebudayaan serumpun, namun secara sejarah peradaban dan kebangsaan, Suku Paser berdiri secara mandiri. “Soal apakah Suku Paser bagian dari Suku Dayak, memang masih perdebatan, tapi menurut kami dan tetua-tetua kami, baik itu di kesultanan kami atau pada panglima-panglima kami terdahulu, Suku Paser asli tidak ada dayak-dayaknya. Memang secara kebudayaan serumpun, tapi secara kebangsaan kami berdaulat,” katanya.
Peta Bumi Kesultanan Paser Lama (Foto: Istimewa).
Bagian Kitab Negarakertagama yang menyebut kata Pasir diduga Kerajaan Paser (Foto: Istimewa).
Bahkan lebih jauh lagi Paidah mengklaim Suku Paser adalah suku tertua di Kalimantan dan diyakini sebagai induk suku yang melahirkan suku-suku lain di seluruh pulau Borneo. Dalam sempuri diceritakan, suku Paser lahir dari Suku Kerawong yang tinggal di sekitar hulu sungai Telake di Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser. Dari Suku Kerawong ini lahir Suku Paser Lembuyut dan Suku Paser Saingkuak. Dari dua suku terakhir itulah lahir 12 sub suku yang dikenal dan masih eksis hingga saat ini. Masyarakat Adat Suku Paser menyebut 12 sub suku itu dengan sebutan ‘Bansu Tatau Datai Danum’, yang berarti masyarakat atau manusia yang hidup di pinggir sungai, pantai, atau danau. “Ke-12 sub suku itu mendiami sepanjang tenggara pulau Kalimantan, atau dalam literatur masyarakat adat Paser menyebut pulau Kalimantan sebagai ‘Benuo Rekan Tatau’ yang artinya negeri yang kaya raya nan luas,” cetus Paidah.
Soal kerajaan di peradaban Suku Paser juga berbeda dari sejarah mainstream. Suku Paser meyakini kerajaan Paser lebih dulu berdiri daripada Kerajaan Kutai. Menurut Paidah, berdasarkan sejarah lisan atau sempuri tetua Suku Paser, kerajaan pertama di Nagri Paser adalah Kerajaan Padang Kero yang berdiri pada abad ke-1 hingga 2 masehi dengan raja pertamanya bernama Raja Nuas. Secara singkat, suku Paser membagi sejarah kerajaan-kerajaan mereka ke dalam lima periode. Periodisasinya adalah masa Padang Kero (Abad 1-2 M), masa Padang Betinti, masa Tuban Layar (1305-1382), masa Sie Penggawa (1382-1516), dan masa Sadurangas (1516-1703). Masa Sadurengas juga menjadi cikal bakal lahirnya Kesultanan Paser sebelum akhirnya dihapuskan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada 1906.
Klaim Padang Kero sebagai kerajaan pertama di Indonesia memang kurang didukung oleh bukti otentik. Padahal seperti diketahui Kerajaan Kutai diakui sebagai kerajaan pertama di Nusantara yang berdiri pada abad ke-4 Masehi. Hal ini dikuatkan dengan temuan Yupa Prasasti Mulawarman. Kekurangan bukti otentik itu juga diakui sendiri oleh Paidah. “Kami memang mengklaim jika kerajaan Paser ini lebih tua dari Kutai. Tapi kami miskin bukti-bukti otentik. Berbeda dengan Kutai yang tak terbantahkan karena ada prasastinya,” kata Paidah.
Paidah Riansyah, Ketua Laskar Pertahanan Adat Suku Paser yang juga sejarawan Suku Paser
Foto : Ibad Durohman
Sejarawan Muhammad Sarip yang menulis buku “Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda” juga menolak klaim yang menyebut Padang Kero sebagai kerajaan pertama. Sebab para sejarawan tidak menggunakan sempuri atau cerita rakyat tersebut sebagai historiografi. “Penyebutan angka abad ke-1 atau abad ke-2 perlu sumber yang terverifikasi dan atau bersesuaian dengan sumber lain,” ujar Sarip kepada detikX melalui sambungan telepon, Rabu 9 September 2019.
Kerajaan Paser baru ‘diakui’ keberadaannya setelah tercatat dalam Kitab Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca pada pertengahan abad ke-14. Sayangnya informasi soal Kerajaan Paser juga sedikit sekali disinggung. Dalam kitab itu tak disebutkan apa nama kerajaan di Nagri Paser atau siapa yang memerintah. Paser/Pasir hanya ditulis satu kata. Jika diterjemahkan, potongan informasi di Nagarakretagama itu berbunyi, “Kadangdangan, Landa, Samedang, dan Tirem tak terlupakan. Sedu Brundeg (Brunei), Kalka, Seludung, Solot, dan Pasir, Barito, Sawaku serta Tahalung, dan Tanjung Kutai, serta Malano yang terkemuka di Tanjung Pura”.
Jika dilihat dari periode waktu, Paidah memperkirakan yang dimaksud Paser dalam Nagarakretagama itu adalah Kerajaan Tuban Layar. “Karena Kerajaan Tuban Layar berdiri dari tahun 1305 sampai dengan 1382,” katanya. Namun, Sarip kembali tak bersepakat. Menurutnya, meski kata ‘Pasir’ tertulis dalam Nagarakretagama, tidak sertamerta bisa disebut sebagai sebuah kerajaan. Hal itu terjadi karena nihilnya catatan sejarah Pasir pada masa itu. “Patut diketahui tidak semua komunitas yang disebutkan Prapanca dalam Nagarakretagama adalah negara atau kerajaan yang teratur. Maka, bisa jadi Pasir yang dimaksud kala itu berwujud kelompok penduduk asli yang terikat tradisi, adat istiadat, dan kepercayaan kuno dalam kepemimpinan kepala suku,” katanya.
Menurut riset para sejarawan, lanjut dia, Paser sebagai kerajaan berdiri pada tahun 1516. Kala itu, nama awalnya adalah Kerajaan Sadurangas. “Raja pertamanya adalah Ratu Aji Putri Petung. Proses berdirinya Sadurangas disokong oleh para pengungsi dari Kerajaan Kahuripan dan Daha. Kerajaan ini merupakan lanjutan dari Kerajaan Dipa, yang kelak menjadi Kerajaan Banjar,” lanjut Sarip.
Pernyataan Sarip berkeseuaian dengan timeline sejarah Pemerintah Kabupaten Paser yang ditulis dalam situs resmi pemerintah. Sejarah Kerajaan pertama di Paser adalah Kerajaan Sadurengas yang berdiri pada 1516. Pada pada 1703, sistem kerajaan digantikan menjadi sistem kesultanan. Sultan pertama dari Kesultanan Paser adalah Sultan Aji Muhammad Alamsyah yang memerintah sampai dengan 1738. Masa kesultanan Paser berakhir pada 1906 setelah Belanda menghapuskan sistem Kesultanan Paser. Sultan terakhir dari Kesultanan Paser adalah Sultan Ibrahim Khaliluddin.
Kini setelah kurang lebih 114 tahun pasca dihapuskannya Kesultanan Paser, masyarakat adat Suku Paser berencana untuk mengangkat lagi sultan yang baru. Beberapa minggu lalu, tepatnya 01 september 2019, masyarakat Suku Paser mengadakan Kongres Masyarakat Adat Paser yang dihadiri seluruh perwakilan Suku Paser di Kaltim. Dalam kongres itu ada dua isu utama yang dibahas. Pertama soal pengangkatan sultan baru. Kedua soal sikap resmi masyarakat adat Suku Paser atas ditetapkannya Penajam Paser Utara sebagai Ibu Kota Negara.
Sejarawan Muhammad Sarip
Foto : Dok Pribadi
Soal pengangkatan sultan baru, dalam kongres telah dipilih Tim Panitia Persiapan Sultan. Tim itulah yang akan membuat aturan main dan menggodog nama-nama yang akan dicalonkan menjadi sultan. Menurut Musa, tugas panitia tersebut adalah mendatangi para bangsawan dan mendata mana saja yang bisa dicalonkan menjadi sultan. “Syarat utama menjadi sultan adalah harus bergelar Aji. Jadi semua yang bergelar Aji bisa mencalonkan menjadi sultan, tinggal nanti oleh panitia dikaji lagi duriyyat (nasab)nya,” jelasnya.
Menurut Paidah, pemilihan sultan itu sudah diwacanakan sejak lama dan baru menemukan momentum ketika ada wacana pemindahan ibu kota. Pengangkatan sultan ini perlu karena suku-suku yang lain sudah ada kesultanannya. “Memang di Kalimantan ini hanya Tidung dan Paser saja yang belum terangkat sultannya. Dan secara peraturan perundangan kan dibolehkan selama itu untuk menjaga tradisi. Artinya sultannya tidak memiliki kekuasaan hanya sebatas simbol saja,” ucap Paidah.
Tim panitia yang diketuai oleh Adji Lukman Pandji sejauh ini masih menjaring nama-nama yang akan dicalonkan. Menurut Musa, paling lambat di tahun 2020 proses pemilihan sultan akan selesai. “Pokoknya mungkin 2020 selesai. Intinya sebelum ibu kota pindah kita sudah punya sultan,” kata Musa.
Soal pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara masyarakat adat Suku Paser pada prinsipnya setuju dan mendukung. Hanya saja perlu komunikasi terlebih dahulu antara pemerintah dan masyarakat adat Suku Paser agar ke depan setelah ibu kota berdiri bisa aman dan kondusif. Selama ini menurut Musa perhatian pemerintah kepada masyarakat adat selalu dinomorduakan. Oleh sebab itu sebelum ibu kota pindah Musa berharap agar keinginan masyarakat adat untuk memiliki hutan adat bisa untuk dipenuhi.
Permintaan soal hutan adat ini memang tertuang dalam maklumat hasil Kongres Masyarakat Adat Paser. Dalam Maklumat itu ada beberapa poin rekomendasi yang dimintakan kepada pemerintah. Di antaranya Masyarakat Adat Suku Paser meminta kepada Presiden untuk segera mengesahkan Undang-undang pengakuan dan perlindungan adat dan juga meminta kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera memfasilitasi pemetaan wilayah adat di Penajam Paser Utara terutama di daerah calon ibu kota negara.
Reporter/Penulis: Ibad Durohman
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Irwan Nugroho