Pagi-pagi betul pada Selasa (10/9/2019), tim Jelajah Ibu Kota Baru detikcom sudah bersiap untuk berangkat ke Pasar Penajam. Kami berangkat ke pasar yang jaraknya sekitar 9,3 km dari arah Lawe-lawe itu. Alamatnya di KM 4 Kelurahan Nenang, Penajam pada pukul 7.30 WITA.
Kami sampai di Pasar Penajam pukul 7.50 WITA. Waktu tempuh kami hanya 20 menit saja. Memasuki pasar Penajam, terlihat sejumlah gedung bangunan bercat kuning dan abu-abu. Dilihat dari warna catnya yang masih terang, bangunan pasar ini seperti baru saja dibangun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami mewawancarai beberapa pedagang. Salah satunya, pedagang sayur bernama Wahyuni, warga Kelurahan Gunung Steleng. Dia sudah menjajakan dagangannya sejak pukul 7 pagi. Ada bayam dan sawi daging.
"Ini sawi dan bayam, dua ikat Rp 2 ribu. Kalau lebih pagi bisa Rp 4 ribu. Tadi saya telat. Ini semua hasil dari kebun saya sendiri," ujar Wahyuni saat berbincang dengan Tim Jelajah Ibu Kota Baru detikcom.
![]() |
Wahyuni mengaku bahwa dirinya merupakan pendatang. Namun, jodohnya merupakan orang PPU. Dia dan keluarganya sudah memiliki KTP PPU.
"Kita Merantau juga. Tapi, sudah KTP PPU. Saya orang Sulawesi Selatan. Suami orang sini, tapi orang tuanya pendatang juga," ungkapnya sembari sesekali merapikan dagangannya.
Soal rencana pemindahan ibu kota di PPU, Wahyuni juga sudah tahu informasi itu dari televisi. Namun kabar kebijakan nasional itu tak membuat dia risau.
"Saya sih sembarang aja. Sama aja. Begini aja (dagangannya)," ucapnya singkat.
Dia juga tak begitu hirau dengan isu harga tanah di PPU yang melambung tinggi. Saat ditanya apakah tanah lahannya pernah ditawar orang, dia mengaku belum pernah. Menurutnya, orang luar PPU biasanya ingin membeli tanah yang dekat dengan jalan raya. Sedangkan tanah milik Wahyuni dan suaminya cukup jauh dari jalan.
Selain Wahyuni, kami juga mewawancarai Adisa, seorang pedagang ikan. Dia mengaku sebagai orang asli Bugis. Profesi pedagang ikan ini sendiri sudah ia geluti sejak 40 tahun silam. Namun, dia baru berdagang di Pasar Penajam tiga tahun belakangan, tepatnya ketika pasar ini pertama kali dibuka.
"Saya orang Bugis, tapi lahir di PPU. Saya yang paling tua di sini. Tapi di sini baru tiga tahun, soalnya waktu itu baru dibangun kan," kata perempuan yang mengaku sudah punya beberapa cucu ini.
![]() |
Untuk ikan yang ia jual, Adisa langsung mengambilnya dari Pelabuhan Tanjung yang ada di kelurahan Petung.
"Ikan dari Pelabuhan Tanjung, Petung. Ada ikan kembung, ikan selar, ya yang ada itu," imbuhnya.
Saat kami bertanya apakah dia setuju soal pemindahan ibu kota baru di PPU, dia mengaku setuju. Meskipun ungkapannya seperti tak begitu hirau dengan rencana pemerintah itu.
"Ah, saya belum tentu juga dapat. Umur saya kan 69. Setuju aja lah. Kita ndak mau repot," kata Adisa sembari sedikit terkekeh.
Adisa juga mengaku bahwa tanah miliknya sempat ditawar orang, usai pengumuman lokasi ibu kota baru di PPU. Tetapi, keputusan soal jual-beli tanah itu sudah ia serahkan ke anak-anaknya. Kami pun sempat bertanya soal letak pasti Ibu kota baru, namun dia tidak tahu.
"Ndak tahu saya soal itu-itu (titik pasti ibu kota baru). Kalau tempat pengajian, tanya saya. Kalau soal itu, nggak, cuek saya," ujarnya.
Usai wawancara dengan beberapa pedagang, kami pun kembali menyusuri los-los Pasar Penajam. Ternyata, Pasar ini dibagi menjadi dua bagian. Pasar kering, untuk para pedagang yang menjual barang-barang seperti perabotan rumah tangga dan baju. Sedangkan pasar basah, untuk para pedagang yang menjual bahan makanan seperti sayuran, daging dan sembako.
![]() |
Hal menarik lainnya, di Pasar Penajam pengemis dan pengamen dilarang berkeliaran. Untuk akses transportasi menuju pasar ini, tersedia pula angkutan lokal dengan jangkauan beberapa daerah tertentu.
![]() |
Waktu pun sudah menunjukkan pukul 09.00 WITA. Tak terasa, kami sudah berkeliling pasar selama satu jam lebih. Kami lantas melanjutkan perjalanan ke lokasi lain di PPU.
Simak laporan Jelajah Ibu Kota Baru, hanya di detikcom.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini