"Enggaklah, tidak ada (memberi angin segar ke koruptor, teroris, dll), kan ada pengaturan lebih lanjut nanti," kata Yasonna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Yasonna menjelaskan, setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan remisi. Pembatasan untuk warga negara mendapatkan revisi, menurut dia, melanggar hak asasi manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun meminta semua pihak untuk tak suuzan dengan revisi UU Permasyarakatan. Yasonna juga menepis revisi itu sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi.
"Aduh semuanya lah nanti KUHP nanti yang sudah 78 tahun tidak, itu akan apa, itu namanya suudzon. Inti RUU Pemasyarakatan mengakomodasi kemajuan zaman, dan ini tidak jauh beda dengan dunia luar. Dunia negara yang sudah jauh lebih tertinggal dari kita juga, reform mereka dalam UU Pemasyarakatan jauh lebih maju dari kita," kata Yasonna.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM sepakat merevisi Undang-Undang (UU) Pemasyarakatan. Dalam revisi tersebut syarat-syarat pemberian hak-hak, seperti remisi dan pembebasan bersyarat, bagi terpidana kasus korupsi kembali mengacu pada KUHAP.
"Tidak lagi (peraturan pemerintah). Otomatis PP 99 (Tahun 2012) menjadi tidak berlaku karena semua dikembalikan ulang," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Herman Herry kepada wartawan, Rabu (18/9/2019).
Sebelum revisi UU Pemasyarakatan direvisi, pemberian remisi ataupun pembebasan bersyarat dilakukan dengan mengacu pada PP Nomor 99 Tahun 2012. Dalam PP tersebut, pemberian hak-hak untuk terpidana korupsi harus berdasarkan rekomendasi lembaga terkait.
Penyadapan KPK Perlu Izin Dewas, Yasonna Singgung Abuse of Power:
(mae/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini