"ILR memandang ada sejumlah cacat formil atau prosedural yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam melakukan revisi UU KPK. Satu, tidak memenuhi asas kejelasan tujuan. Revisi UU KPK tidak memiliki kejelasan tujuan untuk apa. Kendati disampaikan DPR dan Presiden bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK. Tapi fakta menunjukkan sebaliknya. Dari pasal-pasal akan dibahas seperti, pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, kewenangan SP3 dan formasi kepegawaian menjadi ASN menunjukkan indikasi kuat mengganggu independensi dan memperlemah kelembagaan KPK," kata Direktur Eksekutif ILR, Firmansyah Arifin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga masyarakat dapat memberikan masukan seluas-luasnya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil secara tiba-tiba, pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dalam waktu yang sangat terbatas. Sehingga jangankan masyarakat, KPK yang berkepentingan pun tidak diberitahu dan dilibatkan," ujarnya.
Berikutnya, menurut Firman, tidak ada urgensi nasional dalam revisi UU KPK. Dia mengatakan revisi UU KPK ini tidak didasarkan atas suatu keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional atas RUU KPK.
"Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 memang memungkinkan DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU dilaur prolegnas yang mencakup: (a). untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama. Point huruh a jelas tidak terpenuhi. Sedangkan point huruf b, tidak jelas apa yang mendasari DPR dan Presiden Revisi UU KPK sebagai sesuatu yang urgen secara nasional. Sejauh ini peranan KPK bisa dikatakan masih sangat baik, sarat prestasi dan dipercaya publik dalam pemberantasan korupsi," tutur Firman.
"Menjadi inspirasi pembentukan lembaga antikorupsi di banyak negara. Lantas apa yang menjadi dasar DPR dan Presiden tiba-tiba menganggap revisi UU KPK harus dilakukan sekarang? Tidak jelas, bahkan bisa dibilang tidak ada urgensinya revisi terhadap UU KPK dilakukan saat ini," sambung dia.
Cacat keempat, menurut Firman tidak ada naskah akademik dalam revisi UU KPK. Padahal, kata dia, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus disertai naskah akademis, sebagaimana dinyatakan Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011.
"Naskah akademik ini diperlukan untuk menunjukkan maksud, tujuan, rincian pasal-pasal yang akan diubah atau dibentuk, serta implikasinya. Revisi UU KPK ini sepertinya tidak disertai naskah akademik yang menjadi prasyarat penting pembentukan UU. Hingga saat ini pembahasan dilakukan, public tidak mengetahui naskah akademik revisi UU KPK yang sudah disiapkan atau disusun badan legislasi DPR," kata Firman.
Terakhir, kata Firman, revisi UU KPK juga dinilai cacat karena tidak ada partisipasi masyarakat. Dia menjelaskan, partisipasi masyarakat adalah hak sebagaimana dinyatakan Pasal 96 UU No. 12/2011.
"Partisipasi masyarakat ini baik dalam bentuk lisan dan tulisan yang dapat dilaksanakan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi atau seminar,lokakarya dan/atau diskusi. Dalam waktu yang sangat terbatas dan tertutup, kecil kemungkinan partisipasi masyarakat itu dipenuhi. Bahkan boleh jadi, partisipasi masyarakat itu diabaikan dan tidak dianggap perlu lagi," ujarnya.
Firman menjelaskan konsekuensi dari pembentukan perundang-undangan yang cacat formil adalah ketentuannya akan bermasalah. Selain itu, UU tersebut akan sulit diimplementasikan dan berpotensi dibatalkan.
"Oleh karena itu, atas dasar pertimbangan tersebut, demi kemaslahatan bangsa yang lebih luas dan sebagaimana juga telah banyak disuarakan banyak pihak tentang revisi UU KPK, maka ILR menolak revisi UU KPK yang cacat procedural dan melemahkan KPK. Kemudian, meminta DPR dan Presiden menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Sebagaimana pernah dilakukan DPR dan pemerintah pada 2012 yang pernah menghentikan revisi UU KPK," tuturnya.
Menurut Firman, dalam konteks negara hukum, seharusnya revisi UU KPK dibuat dengan baik dan benar. Dia mengatakan setiap perUUan harus dibuat melalui prosedur atau tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
"Acuannya sudah ada, tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU No. 12/2011)," kata Firman. (mae/eva)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini